Penyidik menemukan bahwa sebagian dana yang dibayarkan—yakni Rp4,3 miliar dan Rp3,1 miliar—dititipkan ke notaris dan pihak internal Polinema untuk membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Ini janggal, sebab pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak seharusnya dikenai BPHTB, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Akibat keseluruhan tindakan tersebut, negara diduga mengalami kerugian mencapai Rp22,624 miliar.
Kejati Jatim telah menetapkan keduanya sebagai tersangka melalui Surat Penetapan Nomor Kep-80 dan Kep-81 per 11 Juni 2025. Keduanya kini ditahan selama 20 hari ke depan, sesuai Surat Perintah Penahanan Nomor Print-8477 untuk AS dan Print-8499 untuk HS.
Windhu Sugiarto, SH., MH., Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim menyatakan, penyidikan akan terus berlanjut.
“Kami akan mendalami seluruh aliran dana dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan yang diduga sarat penyimpangan hukum. Tidak menutup kemungkinan adanya tersangka tambahan dalam waktu dekat,” tegasnya.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa tindak pidana korupsi bukan hanya menjangkiti birokrasi pemerintah, tetapi juga lembaga pendidikan tinggi negeri. Ketika tanah yang seharusnya menjadi tempat membangun masa depan mahasiswa justru dijadikan ladang permainan uang oleh oknum pejabat, maka kredibilitas institusi ikut tercoreng.
Langkah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam mengungkap dan menangani kasus ini memberikan sinyal tegas: siapa pun yang menyalahgunakan anggaran publik, tidak akan luput dari jerat hukum. (u’ud/min)