Dr. Humaidah Muafiqie, M. Si – Adalah Dosen Ilmu Ekonomi Program Pacasarjana Universitas Darul ‘Ulum Jombang
Ramadan bukan hanya bulan suci bagi umat Islam. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk menahan diri dari lapar dan haus serta menghindari amarah. Ramadan juga bulan suci saat Alquran diturunkan.
Namun, di bulan suci ini pula, pernah terjadi peperangan yang sangat dahsyat dan berarti bagi umat Islam diantaranya Perang Badar, Perang Khandaq, Penaklukan Kota Makkah, Perang Ain Jalut, dan Perang Tabuk dan pada abad 21 ini terjadi perang Rusia dan Ukraina.
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia (Sayidiman, 2008) untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata.
Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti “Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia”. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata kerja, tetapi sudah bergeser pada kata sifat. Yang memopulerkan hal ini adalah para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, tetapi secara umum perang berarti “pertentangan”.
Sepanjang sejarahnya, manusia telah membuktikan diri sebagai produsen penderitaan yang ulung. Makin maju peradaban, makin mangkus dan besar-besaran penderitaan yang ditimbulkan. Saluran yang dipakai untuk menimpakan penderitaan bermacam-macam, mulai dari politik, militer, hukum, kejahatan, sosial, ekonomi, dan agama.
Jean Pictet sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa suatu kenyataan yang menyedihkan selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Perang menjadi salah satu bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri yang dianggap baik dalam pergaulan antarmanusia maupun antarbangsa (Pictet,1962). Selama 5600 tahun terakhir manusia telah menggelar 14.600 perang (T. Jacob, 2001) Hal ini menandakan bahwa konflik bersenjata atau perang telah ada dan terjadi ribuan tahun yang lalu meskipun berbeda situasi dan derajatnya dengan konflik bersenjata pada masa kini.
Perang dalam islam disebut juga dengan jihad. Jihad (bahasa Arab: جهاد (menurut syariat Islam adalah berjuang/usaha/ikhtiyar dengan sungguh-sungguh. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Qur’an.
Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi melalui jalan perdamaian dan saling mengasihi. Namun dalam berjihad, Islam melarang pemaksaan dan kekerasan, termasuk membunuh warga sipil yang tidak ikut berperang, seperti wanita, anak-anak, dan manula.
Jihad merupakan bagian dari ibadah yang tinggi nilainya. Namun Jihad yang sebenarnya adalah yang dapat memerangi hawa nafsunya. Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam kitabnya Fadilah Haji menuliskan hadits lain dikatakan: “Mujahid yang sebenarnya adalah orang yang memerangi hawa nafsunya dan mengalahkannya.” (At-Tasarruf). Syekh Muhammad Zakariyya menyampaikan di dalam istilah para sufi hal itu dinamakan jihad akbar. Rasulullah saw juga bersabda seperti itu. Allamah Syami rah.a berkata. “Keutamaan jihad sangat banyak.
“Betapa tidak karena sesuatu yang paling dicintai manusia yakni nyawa dikorbankan di jalan Allah SWT dan demi mendapat ridho Allah ia menanggung segala penderitaan,” katanya.
Dan yang lebih tinggi dari jihad adalah melawan hawa nafsu untuk taat kepada Allah SWT dan menyelamatkannya dari keinginan-keinginannya. Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW kembali dari suatu peperangan beliau bersabda. “Kita kembali dari jihad yang kecil menuju jihad besar.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut perang Rusia dan Ukraina menimbulkan kerumitan dan dilema bagi pemerintah seluruh dunia dalam rangka menyiapkan respons kebijakan, terutama dalam bulan romadlon ini. Di Indenesia imbas invasi Rusia terhadap Ukraina berimbas pada kenaikan minyak gorang dan kenaikan BBM Pertamax. Imbas dari kedua bahan pokok mayarakat ini menyebabkan kenaikan harga-harga pada semua sektor
lini pada semua produk, karena faktor transportasi dan bahan baku makanan yang juga ikut melonjak naik. Imbas terkecil; pada masyarakat terlihat pada kenaikan harga pada penjualan di pasar romadlon.
Pasar romadlon adalah transaksi jual beli dengan tempat yang tidak ditentukan, bisa si pingggir jalan; gang kecil, jalan raya utama yang cenderung memakan badan jalan utama dengan produksi rumahan (home industri). Pasar romadlon dimungkinakan hanya ada di Indonesia dan keiatan ekonomi ini diperkirakan ada sejak tahun 2006 an. Sejak digaungkannya ekonomi kreatif oleh pemerintah Susilo Bambang Yuhoyono.
Di Jombang pasar romadlon mulai didakan sejak tahun 2009 dan berpusat di Depan Kampus Universitas Darul „Ulum. Aneka produk makanan, minuman, jajanan dipejualbelikan. Dengan income yang sangat fantastis 35 juta per harinya. Pasar romadlon mulai terlihat lesu ketika diberlakukannya larangan berjualan karena “covid-19” pada tahun 2019 sampai tahun 2021. Masyarakat dengan dalih “bertahan untuk hidup” berjualan dengan cara bersumbunyi dan memarginalkan diri di gang-gang yang sempit bahkan juga dengan cara “keaatif” COD atau pengiriman ke rumah-rumah pembeli. Kondisi ini bertahan sampai sekarang ketika “wabah covid” sudah tidak lagi menjadi sebuah “momok”.
Dengan demikian sekecil apapun perang terjadi, dimanapun itu terjadi akan berimbas pada masyarakat di seluruh dunia, terutama negara negara bahan baku yang “hidupnya” bergantung pada negara perang.
Karena perang adalah “pembiaran‟ hawa nafsu, maka makna dengan adanya bulan Romadlon ini adalah perang akan berhenti dan damai apabila nafsu-nafsu itu dapat mengekang dirinya untuk tidak marah, tidak beralaku adil, tidak berlaku kekerasan, tidak berlaku serakah untuk bersikap sabar dan saling menghargai sesama pribadi, sesama masyarakat dan lebih luas sesama negara.
Sebagi pribadi kita setiap hari berperang “secara” fisik dan secara moral „Psikis”. Rata-rata kita tidak merasa ada korban. Tapi ketahuilah bahwa dari perlakuan yang “tidak adil” kita, terhadap orang lain (melalui media Whatshap, SMS, Facebook, twiter, IG dll), terhadap unit atau lembaga kita kerja; contoh dengan datang terlambat atau pulang lebih awal, dengan kinerja yang kurang baik, atau perlakukan tidak adil kita sesama teman, saudara ada koraban dari perlakuan „perang” kita terhaap mereka. Kerugian secara ekonomi dan non
ekonomi akan terjadi. Dan kerugian itu akan diperhitungkan bukan saja di dunia tapi juga di akhirat.
Untuk meminamilisir kerugian “perang” yang kita akibatkan, seharusnya kita memberlakukan rasa ukhuwa islamiyah dalam diri kita. Karena ukhuwan islamiyah merupakan fondasi nikmat bagi islam. Syech Abu Bakar Jabir Al-Jazaairy, seorang ulama besar Arab dalam kitabnya “Minhaaju Al-Muslim” menulis secara detil soal bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap sesama muslim (berukhuwiyah islamiyah)
Sikap-sikap dalam usaha untuk menjaga dan memelihara ukhuwah islamiyah tersebut antara lain:
- Mencintai bagi saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri dan membenci bagi saudaranya apa-apa yang dibenci bagi dirinya. (HR Bhukari dan Muslim)
- Merendah diri di hadapan saudaranya dan tidak bersikap sombong dan angkuh. (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
- Tidak mencaci saudaranya dan tidak menghinanya dengan bentuk apapun. (QS Al Hujarat 11)
- Tidak dengki dan iri kepada saudaranya. ((HR Bukhari dan Muslim)
- Memperlakukan saudaranya dengan baik dan menahan diri dari segala hal yang menyakitinya. (HR Al-Hakim dan Tarmidzi)
- Memelihara jiwa, harta dan kehormatan saudaranya. (HR Muslim)..Wallahu‟alam bishoab. (*)