Pada Januari 2024, FD kembali menggunakan pola serupa. Kali ini, PO fiktif dibuat atas nama PT UDK dengan volume 80.000 kg ikan (cakalang dan baby tuna). Lagi-lagi, invoice dan tally sheet fiktif digunakan sebagai dasar penginputan ke sistem. Nota dinas kembali diajukan dan pembayaran cair sebesar Rp1.485.558.837.
FD dan P pun merekayasa agar seolah-olah pengiriman ke PT UDK telah terjadi. Mereka menagih pembayaran senilai Rp1.800.068.000. Namun, realisasi pembayaran hanya Rp25 juta.
Dari dua aksi tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp3 miliar. Fakta ini didapat dari penyidikan sementara dan saat ini masih dalam proses pendalaman untuk mengungkap potensi keterlibatan pihak lain maupun kemungkinan kerugian yang lebih besar.
Perbuatan para tersangka diduga melanggar:
Primair: Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair: Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
Langkah cepat Kejari Tanjung Perak menunjukkan keseriusan dalam membongkar praktik korupsi yang kerap merugikan keuangan negara, khususnya di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kasus PO fiktif ini membuka mata publik terhadap pentingnya pengawasan internal dan akuntabilitas dalam tata kelola keuangan perusahaan milik negara.
I Made Agus Mahendra Iswara menegaskan bahwa penyidikan belum berhenti di dua tersangka ini. Tim masih mendalami apakah ada keterlibatan aktor lain, baik internal maupun eksternal perusahaan.
Keterlibatan dua pejabat perusahaan dalam rekayasa pembelian ikan fiktif bukan sekadar tindakan individu, tetapi gambaran rapuhnya sistem kontrol internal.
Langkah Kejari Tanjung Perak dalam mengungkap kasus ini layak mendapat perhatian publik agar keuangan negara tidak lagi dijadikan ladang bancakan. Kejaksaan kini bergerak, publik wajib mengawal. (u’ud)