Dari Segelas Air Hangat Buat Isteri Sampai Menulis di HP

Sketsa Serba Serbi Sholat Subuh (28 - bagian terakhir)

Dari Segelas Air Hangat Buat Isteri Sampai Menulis di HP
Wina Armada Sukardi

 

Oleh Wina Armada Sukardi 

JIKA Sobat juga sering sholat subuh berjemaah di mesjid, sesaat setelah pulang kembali ke rumah, apa yang dikerjakan? Tentu, setiap orang memiliki kebiasaan berbeda-beda.

Hamba juga punya kebiasaan sendiri.
Sepulang dari mesjid, pastinya yang pertama hamba lakukan berganti baju. Sejak dan setelah pandemi covid-19, sepulang dari mesjid hamba selalu cuci muka dan rambut, serta kaki dan tangan. Mempergunakan pembersih muka, sampo dan sabun.

Setelah itu, hamba minum segelas penuh air putih hangat. Hamba baru akan mengisi perut sekurang-kurangnya satu jam setelah minum air putih ini.

Sebelum diminum, air putih ini lebih dahulu hamba doakan. Intinya hamba mohon kepada Allah minuman ini bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani buat hamba. Setelah doa rampung, hamba bacakan Al fatihah di depan gelas itu, sebanyak tujuh kali, diakhiri dengan meniup ke air di gelas sebanyak tiga.

“Ilmu” ini hamba peroleh dari seorang uztad yang kini sudah meninggal dunia.
Kamar utama tempat hamba dan isteri tidur terletak di lantai dua. Sedangkan tempat dispenser air di bawah. Hampir setiap hari, sesudah hamba minun untuk diri sendiri, hamba kembali menuangkan lagi segelas air hangat, dan hamba bawa ke atas. Kali ini untuk isteri hamba.

Biasanya isteri yang sholat subuh di rumah, sudah tidak tidur lagi. Dia menerima segelas putih air hangat dari suaminya dengan suka cita.
“Ritual” ini berhenti jika kami tidur di kamar bawah bersama para cucu. Isteri akan mengambil air sendiri. Demikian pula selama bulan puasa ritual ini sementara stop.

Dulu, waktu hamba masih sekitar SMPan, dan tinggal di Jalan Cilosari, Cikini, hampir tak ada tradisi di lingkungan kami, sholat subuh di mesjid. Letak mesjid berjauhan dari rumah, dan memang tak ada tradisi itu, termasuk pada bulan puasa.

Kendati begitu, hamba tetap bangun subuh. Terus terang saat itu, hamba kadang sholat subuh, tetapi lebih banyak lagi tidak sholat subuhnya. Tegasnya sholat subuh cuma kadang-kadang saja. Selebihnya tak sholat subuh.

Sholat tidak sholat subuh, saat itu hamba malah hampir selalu lari pagi di jalan. Waktu Jakarta belum seramai kiwari (saat ini). Larinya menggunakan pakaian karate. Tanpa alas sepatu.

Route lari hamba dari Cikini masuk Jalan Sultan Syahrir terus sampai ke bunderan HI, dan kembali lagi lewat Jalan Muhamad Yamin.
Hamba ingat route itu melewati rumah Hugeng, mantan Kapolri yang lagendaris. Juga melewati kantor redaksi majalah anak-anak “Si Kuncung.”

Di kali yang memisahkan Jalan Sultan Syahrir (dahulu namanya Jalan Grisik) dan Muhammad Yamin, saat itu masih dapat dijumpai orang mandi di kali!
Biasanya juga ada air memanjang di berapa jalan. Itu “tetesan” atau rembesan dari truck yang mebawa block-block es batu. Ya, pada zaman itu orang masih menjual dan membeli ea batu.

Pabrik es batu memasok blok-blok es ke depo es memakai truck. Nanti pembeli datang membeli ke depo itu.