Opini  

Pernikahan Sesama Keluarga Miskin dan Kemiskinan Struktural

Pernikahan Sesama Keluarga Miskin dan Kemiskinan Struktural

Oleh Anwar Hudijono (Wartawan Senior)

Pernyataan Menteri Koordiator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tentang pernikahan sesama keluarga miskin melahirkan keluarga miskin baru, memantik pro dan kontra. Dengan catatan yang kontra jauh lebih banyak. Menjadi trending topic. Viral pol di media sosial.

Pernyataan itu disampaikan dalam webinar Kowani, Selasa (4/8/2020).

Hal ini mendaur ulang polemik lama. Sekitar dua tahun lalu, Muhadjir sudah pernah mengungkapkan hal ini. Reaksi reaksi publik pro dan kontra. Dan yang kontra lebih banyak. Yang membuli juga kelewat massif.

Jika Muhadjir mengulangi lagi dengan risiko dibuli lagi, bisa diperkirakan dia tidak asal bicara. Atau untuk branding. Pengalihan masalah Covid-19. Pernyataannya yang pendek dan lugas ini semacam kapak pemecah bongkahan es. Bukan sekadar memukul air untuk mengetes besaran ombaknya. Apalagi memukul air di dulang.

Muhadjir menyampaikan pandangannya itu bukan dalam konteks fiqih munakahat (pernikahan). Tetapi dalam konteks pembangunan manusia. Masalah fundamental dalam pembangunan manusia itu adalah soal kemiskinan yang masih mendera 76 juta rumah tangga miskin di Indonesia.

Salah satu mata rantai terbentuknya keluarga miskin ini adalah perkawinan sesama keluarga miskin. Perkawinan mereka melahirkan keluarga miskin baru.

Terjadinya perkawinan sesama keluarga miskin bukan semata-mata peristiwa alamiah yang harus terjadi begitu seperti kucing kawin sesama kucing. Tetapi ada struktur yang membelenggu mereka agar hanya bisa menikah sesama keluarga miskin. Struktur ini bagian dari gembok kemiskinan struktural yang sangat kokoh dan historis.

KOLONIAL BELANDA

Suatu contoh pernikahan di lingkungan buruh perkebunan. Dalam sistem perkebunan yang melestarikan sistem perkebunan kolonial Belanda, menggembok buruh dalam kemiskinan struktural.

Perkebunan membutuhkan tersedianya buruh yang murah dan mudah. Maka dibuatlah enclave (kantong) pemukiman untuk mereka di tengah perkebunan. Akses ke perkotaan jauh dan transportasi tidak mudah. Fasilitas pendidikan sangat minimal.

Pada gilirannya mereka meneruskan kekuarganya menjadi buruh perkebunan itu. Hidupnya siklistis. Pagi berangkat ke kebun sampai sore. Dikungkung dalam pembentukan sikap mental pasrah, manut, narimo pandum (menerima nasib). Nyaris tidak ada instrument dan kekuatan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan struktural.

Dalam ruang interaksi sosial di enclave atau strata sosial yang terbatas, walhasil mereka menikah sesama keluarga buruh. Karena rata-rata buruh itu miskin. Ya kemudian meneruskan sejarah keluarga miskin. Seperti suket teki meneruskan suket teki. Mustahil suket teki menurunkan padi.

TAJDID MUHAMMADIYAH

Menurut dugaan saya, masalah kemiskinan struktural inilah yang hendak dipecahkan Muhadjir. Wacana pernikahan sesame keluarga miskin ini hanya semacam pintu masuk menguak lebih dalam. Ibarat memotong rumput bukan semata untuk mendapat rumput semata tetapi untuk menangkap sepuak ular yang bersembunyi di rerumputan itu.

Pernikahan sesama keluarga miskin itu boleh diilang hanya salah satu sisi saja dari gugusan kemiskian struktural yang di Indonesia ini sebenarnya sudah sangat kokoh sejalan dengan semakin menguatnya kapitalisme.