Gunarmin Sutjito, Ketua PSPI Jatim: Tanggalkan Status Sosial, Jangan Bicara Kita Siapa

Gunarmin Sutjito, Ketua PSPI Jatim: Tanggalkan Status Sosial, Jangan Bicara Kita Siapa
Gunarmin Sutjito, Ketua PSPI Jawa Timur.

MERANTAU merupakan perginya seseorang meninggalkan tempat di mana ia berasal menuju suatu wilayah lain guna menjalani kehidupan baru, atau sekedar mencari pengalaman.

Banyak hal yang membuat seseorang pergi untuk merantau. Ada karena faktor tradisi dari beberapa kelompok etnis, namun ada juga faktor pendidikan, faktor ekonomi, dan lainnya.

Dan masalah ekonomi merupakan salah satu faktor dari banyaknya penyebab seseorang memutuskan merantau, selain faktor lainnya karena rasa ingin tahu yang tinggi pada suatu tempat, senang akan tantangan, dan ingin mengeksploitasi diri sebagai bentuk keberanian pada diri sendiri.

Bagi beberapa suku di Indonesia, merantau sudah menjadi sebuah tradisi. Kebanyakan, jujugan para perantau adalah, kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan bahkan ke luar negeri.

Di Indonesia, ada beberapa suku dikenal dengan tradisi dan kebiasaan merantau. Sebut saja suku Minangkabau, Bugis-Makassar, Banjar, Bawean, Batak, Madura, dan suku Jawa.

Merantau tak bisa dipisahkan dari suku-suku tersebut. Misalnya masyarakat Minangkabau. Apalagi, asal usul kata ‘merantau’ itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau yaitu ‘rantau’. Rantau pada awalnya bermakna wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau (tempat awal mula peradaban Minangkabau).

Peradaban Minangkabau mengalami beberapa periode atau pasang surut. Wilayah inti itu disebut ‘darek’ (darat) atau luhak nan tigo. Aktivitas orang-orang dari wilayah inti ke wilayah luar disebut ‘marantau’ atau pergi ke wilayah rantau. Lama kelamaan wilayah rantau pun jadi wilayah Minangkabau.

Seperti Minangkabau, Bugis-Makassar juga termasuk suku yang gemar mengembara atau merantau. Keturunan suku Bugis-Makassar juga bertebaran di seantero Asia Tenggara. Hampir di semua wilayah Asia Tenggara terdapat komunitas Bugis-Makassar.

Begitu juga suku Banjar yang tanah aslinya berada di Kalimantan Selatan. Saat ini, kita juga dapat menemukan keturunan suku Banjar dalam jumlah cukup signifikan di beberapa wilayah, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Timur, bahkan di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, dan Brunei.

Aktivitas merantau orang-orang Banjar sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, bahkan ribuan tahun yang lalu. Keturunan mereka juga berkembang di wilayah-wilayah tersebut di atas. Di perantauan, identitas mereka masih bisa dikenali sebagai orang Banjar perantauan.

Bagaimana suku Bawean? Populasi suku Bawean memang tidak banyak, tetapi kalau dihitung persentase perantaunya, dibanding populasi keseluruhan, didapat angka yang cukup tinggi. Kampung halaman mereka di pulau kecil yaitu Pulau Bawean, di tengah laut luas antara dua pulau besar yaitu Kalimantan dan Jawa. Meski jumlah populasi perantaunya tidak begitu banyak, namun dapat dikategorikan bahwa orang Bawean termasuk manusia perantau sejak lama.

Suku Madura juga begitu. Walaupun jumlah populasi perantaunya tidak sebanyak orang Minangkabau dan Bugis-Makassar, mereka tetap bisa disebut sebagai suku perantau. Orang Madura banyak merantau ke Kalimantan, Sumatera, lainnya di Pulau Jawa, dan lainnya. Mereka dikenal ulet, tidak gampang menyerah.

Suku Jawa juga dapat dikategorikan sebagai suku yang suka merantau, meski dulyunya tidak memiliki tradisi rantau. Sekarang, orang Jawa sudah ada di mana-mana, di hampir seluruh pelosok negeri ini, bahkan di berbagai negara pun sudah banyak orang Jawa. Mereka pun sangat mudah beradaptasi dan diterima oleh suku-suku lain.

Pun dengan suku Batak, yang dinekenal dengan karakter keras. Meski budaya merantau suku Batak tidak setua suku Minangkabau, Banjar, dan Bugis, tetapi merantau kini sudah menjadi salah satu budaya suku Batak. Bahkan, motif merantau orang Batak (Toba) terdapat dalam falsafah hidup mereka, yakni Hagabeon, Hasangapon, Habontaron, dan Harajaon. Bagi orang-orang dari suku Batak merantau bertujuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik, berusaha bertahan di suatu daerah, dan membentuk kehidupan baru di luar kampung halaman.

Di Jawa Timur, Surabaya khususnya, jumlah perantau dari berbagai suku juga cukup banyak. Tak hanya dari tanah Minang, Bugis-Makassar, Batak, Banjar, tetapi juga berdatangan dari ujung Aceh hingga Papua.

Namun, apa jadinya nasib para perantau jika tidak memiliki sebuah wadah perkumpulan, komunitas sesama anak daerah, se kampung.

Di Surabaya sendiri, ada beberapa komunitas, wadah perkumpulan yang anggotanya mencakup semua perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Adalah Perkumpulan Saudara Perantau Indonesia Jawa Timur yang bermarkas di Jalan Jemursari Selatan IV/2E, Kota Surabaya.

Perkumpulan ini lahir di Surabaya sejak dua tahun lalu. Kehadirannya mampu merangkul berbagai suku, meski belum tercover seluruh suku di Indonesia. Perkumpulan ini, lebih banyak menyentuh ‘pekerjaan’ bidang sosial (bakti sosial) dalam membantu sesama, tanpa membedakan suku, ras atau golongan dengan ciri-ciri fisik tertentu.

Sejak perkumpulan ini dibentuk, sudah banyak melakukan kegiatan sosial. Tidak hanya di Surabaya, tetapi juga menjangkau daerah lainnya di Jawa Timur.

Gunarmin Sutjito, Ketua PSPI Jatim: Tanggalkan Status Sosial, Jangan Bicara Kita Siapa
Salah satu kegiatan yang diprakarsai PSPI Jatim baru-baru ini.

Berikut petikan wawancara ringan wartawan Koran Transparansi (wartatransparansi.com) bersama Ketua Perkumpulan Saudara Pertantau Indonesia (PSPI) Jawa Timur, Gunarmin Sutjito.

Jika boleh tahu, Anda suku apa dan sejak kapan menjadi orang Surabaya ?

Saya dari Medan. Selepas sekolah di tahun 1987, saya ke Surabaya. Keluarga saya sendiri, adalah keluarga perantau. Sejak tahun 1985, orang tua saya sudah di Surabaya. Makanya, ketika tamat sekolah, saya langsung ke Surabaya dan bekerja dengan menjaga toko obat. Kebetulan, saat itu, orang tua punya usaha sendiri. Sekarang orang tua saya sudah meninggal.

Setelah beberapa lama di Surabaya, saya ingin kerja mandiri dan terlepas dari orang tua. Akhirnya, saya kerja di pabrik jamu. Karena krisis moneter, usaha pabrik guncang. Akhirnya, saya ke Jakarta. Di sana pun, kerjaan kurang berkembang, hingga kemudian saya balik lagi ke Surabaya hingga sekarang.

Begitu banyak pengalaman hidup di kampung orang. Pahit dan manis bagi saya sudah biasa, karena itulah risiko yang harus diterima seorang perantau.