Oleh : Sudarmin Tandi Pora (Guru PAI SMK 1 Tana Toraja)
Alam semesta bukan sekadar ruang tak berbatas, melainkan entitas hidup yang menyimpan pesan tentang keagungan, keseimbangan, dan keterpaduan ciptaan. Sejak awal mula, bumi telah melewati berbagai dinamika kehidupan yang membawa dampak nyata terhadap keseimbangan ekologis.
Degradasi lingkungan adalah pesan alam melalui rintihan bumi yang perlahan sakit. Tanah longsor, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan bukan sekadar bencana, melainkan tanda-tanda semesta kepada manusia bahwa keseimbangan mulai rapuh. Pohon-pohon direnggut hingga akar, sungai diracuni, udara menjadi penjara tak kasat mata bagi napas kehidupan. Tanah, air, dan udara dieksploitasi seolah esok tak lagi menyisakan harapan regenerasi.
Kenyataan ini melahirkan kesadaran baru: kita hidup di era paradoks, di mana spiritualitas meningkat, tetapi krisis ekologis justru semakin memburuk. Kesadaran inilah yang melahirkan konsep ekoteologi, yaitu upaya menghubungkan relasi sakral antara manusia, Tuhan, dan semesta. Ia bukan sekadar wacana spiritual, tetapi panggilan menuju aksi nyata.
Di atas segala perbedaan agama dan keyakinan, kita dipersatukan oleh satu rumah bersama: bumi. Pertanyaannya, benarkah kita mencintai Sang Pencipta jika kita masih abai terhadap ciptaan-Nya? Di sinilah ekoteologi hadir — bukan hanya untuk merenung, tetapi untuk bergerak.
Ekoteologi: Menjembatani Iman dan Alam
Secara etimologis, ekoteologi merupakan gabungan antara ekologi — ilmu yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya — dan teologi — ilmu yang mengkaji tentang Tuhan serta ajaran keagamaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, ekoteologi menjadi titik temu berbagai ajaran agama yang menekankan kesucian alam serta tanggung jawab manusia untuk menjaganya.
Dalam Islam, manusia disebut sebagai khalifah di bumi yang diberi amanah untuk memelihara kehidupan. Dalam Kekristenan, Kitab Kejadian menjelaskan bahwa manusia mendapat mandat ilahi untuk mengelola ciptaan Tuhan dengan penuh kasih. Ajaran Hindu mengajarkan prinsip Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam.
Dalam ajaran Buddha, alam dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang harus dihormati karena seluruh makhluk saling terhubung. Sementara dalam ajaran Konghucu, nilai ren atau kasih sayang meluas hingga kepada hewan dan tumbuhan. Gereja Katolik juga menegaskan pandangan ini melalui ensiklik Laudato Si’, yang menyoroti tanggung jawab moral manusia terhadap bumi.
Semua ajaran tersebut sepakat bahwa mencintai alam adalah bentuk tertinggi dari spiritualitas yang membumi. Ajaran agama tidak boleh berhenti sebagai kalimat indah dalam khotbah atau ceramah, tetapi harus menjadi kesadaran kolektif tentang tanggung jawab ekologis. Cinta kepada alam adalah bagian dari cinta kepada Tuhan, sedangkan kerusakan alam adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah spiritual sebagai khalifah di bumi.
Cinta Alam, Cinta Kehidupan
Cinta kepada sesama manusia melahirkan kedamaian, sementara cinta kepada alam melahirkan keberlanjutan kehidupan. Alam bukan sekadar ciptaan, tetapi sahabat spiritual yang membantu manusia merenungi makna keberadaan.
Cinta alam bukan retorika romantis, melainkan bentuk penghambaan sejati. Ketika seseorang menanam pohon, mengelola sampah dengan bijak, atau menjaga sumber air, ia sesungguhnya sedang beribadah. Sebab alam adalah saksi sekaligus ladang pahala bagi mereka yang memperlakukannya dengan kasih sayang.
Keterkaitan spiritualitas dengan alam hadir dalam berbagai simbol keagamaan. Dalam ajaran Hindu, air suci atau tirta digunakan untuk penyucian diri. Dalam tradisi Kristen dan Katolik, air menjadi lambang kelahiran baru melalui baptisan. Dalam Islam, air menjadi unsur penting dalam wudu sebagai simbol penyucian diri sebelum menghadap Sang Khalik. Umat Buddha sering melakukan meditasi di tengah hutan atau pegunungan untuk menemukan ketenangan batin. Sementara dalam ajaran Konghucu, harmoni dengan alam dipandang sebagai cerminan ketertiban moral. Semua simbol tersebut menegaskan bahwa kehidupan rohani sejati tumbuh dalam keselarasan dengan alam.
Paradoks Modern: Antara Teknologi dan Kehancuran Alam
Ironisnya, kemajuan teknologi yang seharusnya membawa kemaslahatan justru sering menjadi penyebab kehancuran ekologis. Gunung digali, laut dipenuhi limbah, udara tercemar emisi, dan hutan hanya tinggal nama. Semua dilakukan atas nama kemajuan. Namun, apakah kemajuan yang merusak tempat tinggal kita masih pantas disebut kemajuan?
Peradaban memang menuntut perubahan, tetapi kesadaran ekologis memberi peluang untuk berinovasi tanpa menghancurkan habitat kehidupan. Ekoteologi hadir sebagai kritik terhadap modernitas yang meminggirkan nilai spiritual, dan mengubah alam menjadi sekadar komoditas. Dalam pandangan teologis, alam bukan objek, melainkan amanah. Setiap botol plastik yang dibuang sembarangan dan setiap pohon yang ditebang tanpa kendali adalah luka kecil bagi bumi, yang pada akhirnya menjadi luka besar bagi umat manusia.
Krisis iklim hari ini bukan hanya isu ilmiah, tetapi juga persoalan moral dan spiritual. Krisis air, gagal panen, dan bencana ekologis merupakan akibat dari keangkuhan manusia yang lupa bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan bagi generasi mendatang.