Jika dilihat angka kemiskinan di Jatim sudah baik di angka 10, artinya ada 4,1 juta jiwa penduduk Jatim yang miskin. Di tingkat nasional ada 25 juta penduduk miskin.
Maka untuk mengintervensi menyelesaikan kemiskinan adalah menyentuh golongan ini. Jika program kemiskinan di atas 6 juta maka itu tidak rasional alias muspro 2,1 juta.
Yang penting lagi soal kontribusi ekonomi Jatim terbanyak di bidang manufaktur 30 persen, perdagangan 15 persen, dan 11 persen pertanian.
“Padahal orang miskin mayoritas di pedesaan yakni 13,3 persen, di kota hanya 7 persen. Jika fokusnya ke manufaktur maka tidak akan menyelesaikan masalah.
Jangan mengacu makro ekonomi saja, artinya membangun sektor pertanian itu membangun manufaktur berbasis pertanian,” jlentrehnya.
Selanjutnya, kata Imron, ke depan harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Tantangannya itu, contoh soal industri halal yang besar. Hanya saja faktanya kontribusi itu dari sisi konsumen bukan produsen. Kenapa dapur halal, penyedia daging halal terbesar justru Brazil dan Itali.
“Karena memang infrastruktur kita jelek. Bayangkan kita datangkan sapi dari pedalaman NTB ke Jawa biayanya lebih mahal, dibanding beli dari Australia,” tegas Imron.
Sementara menurut Ketua PP KAUJE HM Sarmuji, menjelaskan, kenapa kemiskinan di Jatim tidak bisa diselesaikan. Selalu lebih tinggi dari Nasional, 10,43. Sedangkan angka nasional 9,3.
Sarmuji menyinggung bahwa format ke depan adalah membangun dengan prinsip transformasi struktural sebagai basis utama, bukan pendapatan daerah bruto.
Dia mengingatkan soal teori James A Stoner, jika kita membangun sektor pertanian, ada moral ekonomi petani dan mantra ekonomi yang tak boleh dilupakan yakni, agruculture evolution. Lahan pasti terbagi, ada konstrain bahwa lahan makin dikit. Padahal tenaga kerja tetap.
“Maka harus ada solusi untuk menyelesaikan itu dengan mencarikan wahana baru bagi penduduk pedesaan, semisal wisata desa,” ujarnya.
Sarmuji menegaskan bahwa penyumbang komoditi penyumbang kemiskinan adalah beras dan rokok, untuk pangan. Untuk non pangan adalah perumahan. Jika fokus intervensi ke sana maka akan menciptakan lapangan kerja yang luas.
“Ketiga, geo spasial. Sama pendekatannya. Di mana kantong kemiskinan dipetakan dan diintervensi. Jika agriculture evolution dilakukan maka bisa diciptakan dengan desa wisata. Satu hal.lagi suporting pembangunan itu, investasi dari birokrasi,” ujarnya.
“Maka disarankan kepada staf ahli dan asisten setda jika mengawal gubernur turba maka tidak soal meritokrasi tapi juga etnokrasinya. Tunjukkan peta sosial, gubernur harus bicara apa, itu harus dilakukan,” imbuhnya.
Dari sini kata Sarmuji, rumusan pemikiran ini akan akan dimatangkan dan dibukukan sebagai sumbangsih ke Jatim lebih maju.
Sementara itu Agus Raharjo, staf ahli gubernur bidang sosial, politik dan hukum, berterima kasih atas masukan dan saran dari KAUJE. Dia berharap KAUJE terus sukses dalam mengembangkan diri dan memberi kontribusi kepada bangsa, termasuk daerah Jatim. (*)