banner 728x90
Opini  

“Perang Melawan Corona” di Surabaya (3-habis)

“Perang Melawan Corona” di Surabaya (3-habis)
Djoko Tetuko Abdul Latief

Pada masa Pedudukan Jepang (8 Maret 1942 – 15 Agustus 1945), daerah delta Sungai Brantas termasuk Sidoarjo juga berada di bawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang (yaitu oleh Kaigun, tentara Laut Jepang). Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu. Permulaan bulan Maret 1946 Belanda mulai aktif dalam usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah ini. Ketika Belanda menduduki Gedangan, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan Sidoarjo ke Porong. Daerah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan dari jurusan Tulangan. Sidoarjo jatuh ke tangan Belanda hari itu juga. Pusat pemerintahan Sidoarjo lalu dipindahkan lagi ke daerah Jombang.

Pemerintahan pendudukan Belanda (dikenal dengan nama Recomba) berusaha membentuk kembali pemerintahan seperti pada masa kolonial dulu. Pada November 1948, dibentuklah Negara Jawa Timur salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Sidoarjo berada di bawah pemerintahan Recomba hingga tahun 1949.

Pada 27 Desember 1949, sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kembali Negara Jawa Timur kepada Republik Indonesia, sehingga daerah delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.

Tetapi dalam upaya “balik kucing” tidak ada lagi pengawaaan dan penjagaan sampai tingkat RT dan RW. Bahkan pengawasan gerakan maskerisasi belum masiv.

“Kota Wali” Kabupaten Gresik memiliki luas
1191.25 km2 dengan jumlah penduduk 1.310.439 jiwa.
Wilayah Kabupaten Gresik juga mencakup Pulau Bawean, yang berada 150 km lepas pantai Laut Jawa. Kabupaten Gresik berbatasan dengan Kota Surabaya dan Selat Madura di sebelah timur, Kabupaten Lamongan di sebelah barat, Laut Jawa di sebelah utara, serta Sidoarjo dan Mojokerto di sebelah selatan. Gresik dikenal sebagai Kota tempat berdirinya Pabrik Semen pertama dan perusahaan semen terbesar di Indonesia, yaitu Semen Gresik. Pabrik peleburan dan pemurnian tambang (smelter) terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia juga akan berdiri di Gresik. Bersama dengan Sidoarjo, Gresik merupakan salah satu penyangga utama Kota Surabaya, dan termasuk dalam kawasan Gerbangkertosusila.

Tiga wilayah Surabaya Raya jumlah penduduknya mencapai 7 juta lebih, dengan data kasus positif 9.073 (jika masih labil) pada saat kebijakan jam malam berakhir dapat menembus angka 10 ribu. Inilah kinerja Tim Gabungan dengan RENKON semua Satgas, kemudian prioritas rencana aksi pencegahan penyebaran, penyembuhan dan pengurangan warga wafat. Maka jika berhasil, maka bisa dimaksudkan referensi jika daerah lain lain terjadi “amuk Corona” dan jadi pedoman jika ada bencana atau darurat nasional serta darurat lain.

Sementara itu, Jakarta memiliki luas sekitar 664,01 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.557.810 jiwa (2019).[3] Wilayah metropolitan Jakarta (Jabodetabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,[6] merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.

Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma, serta tiga pelabuhan laut di Tanjung Priok, Sunda Kelapa, dan Ancol.[12][13][14]

Sekedar sebagai pembanding data kasus positif sama-sama di atas 10 ribu, antara Jakarta dengan Jatim. Dan Surabaya Raya menjadi penyumbang terbesar, mendekati 10 ribu. Paling tidak sebagian dapat mencontoh kebijakan Jakarta dengan tetap memperpanjang PSBB Transisi, walaupun data kasus positif sudah turun dan protokol kesehatan serta ketegasan hidup sehat dan bersih dengan jaga jarak terus dilakukan. Hal itu berbeda dengan wilayah Surabaya Raya, walaupun “balik kucing” namun tidak melakukan revisi sebagai transisi. Bahkan tetap memaksakan kehidupan normal baru, ketika “amuk Corona” masih mengancam di mana-mana.

Jakarta adalah ibu kota dan kota terbesar Indonesia. Terletak di estuari Sungai Ciliwung, di bagian barat laut Jawa, daerah ini telah lama menopang pemukiman manusia. Bukti bersejarah dari Jakarta berasal dari abad ke-4 M, saat ia merupakan sebuah permukiman dan pelabuhan Hindu. Kota ini telah diklaim secara berurutan oleh kerajaan bercorak India Tarumanegara, Kerajaan Sunda Hindu, Kesultanan Banten Muslim, dan oleh pemerintahan Belanda, Jepang, dan Indonesia.
Hindia Belanda membangun daerah tersebut sebelum direbut oleh Kekaisaran Jepang semasa Perang Dunia II dan akhirnya menjadi merdeka sebagai bagian dari Indonesia.

Jakarta telah dikenal dengan beberapa nama. Ia disebut Sunda Kelapa selama periode Kerajaan Sunda dan Jayakarta, Djajakarta, atau Jacatra selama periode singkat Kesultanan Banten. Setelah itu, Jakarta berkembang dalam tiga tahap. “Kota Tua Jakarta”, yang dekat dengan laut di utara, berkembang antara 1619 dan 1799 pada era VOC. “Kota baru” di selatan berkembang antara 1809 dan 1942 setelah pemerintah Belanda mengambil alih penguasaan Batavia dari VOC yang gagal yang sewanya telah berakhir pada 1799. Yang ketiga adalah perkembangan Jakarta modern sejak proklamasi kemerdekaan pada 1945. Di bawah pemerintahan Belanda, ia dikenal sebagai Batavia (1619–1949), dan Djakarta (dalam bahasa Belanda) atau Jakarta, selama pendudukan Jepang dan masa modern.

Membandingkan Surabaya Raya dengan Jakarta, sekedar sebagai pengingat bahwa penyebarluasan virus Corona di Surabaya dan sekitarnya, masih berbahaya. Semua pihak harus tetap kompak bersama-sama melawan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai gagal lagi.

Tentu saja, Ikhtiyar maksimal dengan protokol kesehatan, physical distancing, social distancing, juga kebijakan dengan kearifan lokal serta petugas Gugus Tugas Covid-19, menjaga amanat “iling lan waspodo”, serta kebersamaan bersama masyarakat berperang secara sungguh-sungguh memerangi virus Corona dengan menjaga kesehatan dan kebersihan. Tidak kalah penting Umaro (pejabat pemerintahan) mengajak ulama berdo’a terus menerus bersama umat di seluruh aktifitas dari berbagai riak kehidupan lapisan masyarakat. Mari bersama-sama tetap kompak berperang melawan Corona seperti berperang ketika mempertahankan kemerdekaan tempo dulu. Semoga berhasil dan menjadi pemenang sejati. (JT/berbagai sumber)