Oleh : Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi Transparansi)
(“Balik Kucing”, Berlakukan Jam Malam)
“Perang Melawan Corona” di Surabaya Raya sebagai satu kesatuan wilayah ketika memberlakukan Pengawasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yaitu wilayah Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, kembali diberlakukan jam malam, tetapi suasana kebatinan berbeda dengan saat diberlakukan PSBB beberapa waktu lalu. Dua malam mengikuti suasana penutupan ruas jalan protokol suasana kota Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik tidak terlalu mencekam. Hanya sebatas mengurangi kerumunan orang pada malam hari.
Walaupun berlaku jam malam dengan penutupan beberapa ruas jalan protokol, tetapi perdagangan malam baru ini, tidak ada larangan. Sehingga suasana masih begitu ramai dan tetap hidup seperti malam-malam sebelum musim virus Corona. Ya inilah kebijakan transisi dengan konsep “setengah hati”. Sebab salah satu sisi ingin dunia perdagangan tetap hidup, dan itu memang betul. Tetapi keinginan melakukan perlawanan secara bersama-sama Covid-19 dengan catatan data kasus positif di Surabaya Raya sudah mencapai angka sangat fantastis, yaitu 9.073 (Surabaya 6.329 ; Sidoarjo 1.885 ; Gresik 844) atau sekitar 67% dari seluruh jumlah kasus psisitif di Jatim 13.461.
Dan itu berarti sudah selisih dengan DKI Jakarta 1000 lebih, dimana data kasus positif Jakarta 12.183.(data 4/7/2020)
Kondisi ini memang khusus untuk Kota Surabaya harus lebih waspada. Sebab, dengan luas wilayah 326,81 km2 dengan jumlah penduduk 3.457.409 jiwa, dibandingkan dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan luas 664,01 km2 dengan jumlah penduduk 10.557.810, maka data kasus positif terinfeksi virus Corona di Surabaya sangat tinggi.
Itu berarti tidak berlebihan jika semua potensi Gugus Tugas Covid-19 Nasional dan Jatim bersama Surabaya, wajib melakukan RENKOK (Rencana Kontijensi) dengan rencana aksi terus menerus dilakukan Satgas disertai monitoring dan evaluasi, sekaligus menindaklanjuti dengan aksi-aksi sesuai dengan rekomendasi hasil Monev.
Keputusan “balik kucing” (istilah kembali ke kebijakan awal yang sudah tidak dipakai), dengan memberlakukan jam malam, tentu saja tidak cukup. Tetapi RENKON dengan rencana aksi masing-masing satuan tugas (Satgas) Gugus Tugas Covid-19 secara terpadu atau TIm Gabungan, harus lebih profesional dan proporsional, juga tidak kalah penting melakukan update data kasus positif, penyembuhan, dan wafat dengan transparan. Yaitu, transparansi dalam menyampaikan minimal program prioritas di atas dengan menjelaskan secara terbuka jumlah anggaran setiap kegiatan yang tentunya berbeda-beda. Juga terbuka. Ini merupakan salah satu ikhtiyar supaya sebagai pelaksana Gugus Tugas Covid-19 tetap “Iling lan Waspodo” (ingat dan waspada) bahwa melaksnakan tugas suci “perang melawan Corona” di masa saja, terutama di Surabaya Raya, menurut warna peta sudah memerah kehitaman untuk Surabaya dan Sidoarjo, tetap menjaga amanat dengan benar, jujur, dan sungguh-sungguh, sehingga seirama dalam berjuang. Supaya tujuan akhir mengkikis habis Covid-19 tercapai.
Sekedar mengingatkan bahwa Surabaya memiliki luas sekitar ±326,81 km², dengan lebih dari 3 juta penduduk pada tahun 2018. Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah kawasan metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya dan wilayah Gerbangkertosusila dilayani oleh sebuah bandar udara, yakni Bandar Udara Internasional Juanda yang berada 20 km di sebelah selatan kota, serta dua pelabuhan, yakni Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Ujung.
Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan Arek-Arek Suroboyo (Pemuda-pemuda Surabaya) dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari serangan penjajah. Surabaya juga sempat menjadi kota terbesar di Hindia Belanda dan menjadi pusat niaga di Nusantara yang sejajar dengan Hong Kong dan Shanghai pada masanya. Menurut Bappenas, Surabaya adalah salah satu dari empat pusat pertumbuhan utama di Indonesia, bersama dengan Medan, Jakarta, dan Makassar.
Suasana hingga 5 Juli 2020, tidak ada perubahan kebijakan dalam memerangi virus Corona, semua sudah diminta siap siaga mulai dari RT dan RW. Tapi kebijakan perdagangan dan kehidupan sosial masih biasa-biasa saja.
Sedang “Kota Petis” Sidoarjo dulu dikenal sebagai pusat Kerajaan Janggala. Kabupaten Sidoarjo dengan luas
714,24 km2 dan jumlah penduduk 2.266.533 jiwa. Pada masa kolonialisme Hindia Belanda, daerah Sidoarjo bernama Sidokare, yang merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Pada 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Sidokare dipimpin R. Notopuro (kemudian bergelar R.T.P. Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan. Ia adalah putra dari R.A.P. Tjokronegoro, Bupati Surabaya. Pada tanggal 28 Mei 1859, nama Kabupaten Sidokare yang memiliki konotasi kurang bagus diubah namanya menjadi Kabupaten Sidoarjo.
Setelah R. Notopuro wafat tahun 1862, maka kakak almarhum pada tahun 1863 diangkat sebagai bupati, yaitu Bupati R.T.A.A. Tjokronegoro II yang merupakan pindahan dari Lamongan. Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro pensiun, sebagai gantinya diangkat R.P. Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya 3 bulan saja menjabat sebagai Bupati karena wafat pada tahun itu juga, dan R.A.A.T. Tjondronegoro I diangkat sebagai gantinya.