“Negara Pancasila” versi Ir. Soekarno

“Negara Pancasila” versi Ir. Soekarno

Maka kembalilah kita pada 1 Juni 1945. Sebuah pagi di hari Jumat yang cerah. Insinyur kita telah memulai pidatonya. Semua mata tertuju pada sosoknya yang berdiri gagah di depan mimbar.

Bung Karno, insinyur negara Indonesia merdeka itu, mengawali pidatonya dengan sebuah pertanyaan sederhana: Apa itu “kemerdekaan”? Apa yang dimaksud dengan kata “merdeka”?

Waktu Ibnu Saud memerdekakan Arab Saudi, kata Bung Karno, 80% dari rakyatnya masih hidup dalam alam kegelapan. Konon pada suatu hari mobil Ibnu Saud mau diberi makan gandum oleh penduduk Saudi Arabia karena mereka belum pernah melihat mobil dan mengiranya sejenis onta.

Dengan kemerdekaan yang baru dinyatakannya itu, barulah bangsa Arab Saudi belajar membaca-tulis, bercocok tanam, hidup secara teratur.

Demikian pula dengan negara Rusia, Mesir dan negara-negara merdeka lainnya. Kemerdekaan itu tidak ditunggu datangnya, tapi direbut, dinyatakan sekarang juga.

Melalui cerita itu, Bung Karno menyindir kekhawatiran para pemimpin pergerakan yang telah menyampaikan pandangannya yang rumit tentang dasar negara sepanjang tiga hari sebelumnya. Mereka berdebat demikian rumit tentang teori- teori politik Barat, agak gentar dan takut salah dalam merancang dasar negara Indonesia merdeka.

Bung Karno bertanya: Sudah berpuluh-puluh tahun berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, sekarang ada kesempatan merdeka kok malah kita gentar? Kemerdekaan itu ibarat “jembatan emas”, kata Bung Karno.

Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir dari perjalanan suatu bangsa, melainkan jembatan menuju tujuan akhir itu. Lewat kemerdekaan lah, lewat jembatan emas itulah, kita mewujudkan cita-cita kebangsaan yang selama ini—di masa belum merdeka— hanya tinggal cita-cita belaka. Jadi jangan berharap semua cita- cita itu sudah harus terpenuhi sebelum kita merdeka. Justru lewat kemerdekaan itulah kita kejar cita-cita kita.

Insinyur kita mengumpamakan kemerdekaan dengan perkawinan. Ada orang yang takut kawin. Ada orang yang mau menunggu punya rumah bertingkat, permadani, tempat tidur mewah, baru berani menikah. Ada juga orang yang berani kawin kalau sudah punya satu meja, empat kursi, satu dipan dan tempat tidur.

Tapi ada juga yang lebih berani, yakni kaum Marhaen, rakyat kecil pemberani, yang hanya punya gubug dengan satu tikar dan satu periuk nasi berani menikah.

Tidak ada yang bisa menjamin siapa yang bakal lebih bahagia: si kaya yang peragu atau si miskin yang pemberani?

Demikian pula kemerdekaan. “Soalnya,” kata Bung Karno, “kita ini berani merdeka atau tidak?” Soalnya bukan apakah kita sudah cukup kaya atau belum untuk merdeka. Kalau menunggu kekayaan  terkumpul, mungkin baru 50 tahun lagi kita merdeka.

Soalnya bukan apakah kita sudah cukup terdidik untuk merdeka atau belum.

Kalau mesti menunggu 70 juta rakyat Indonesia mengenyam pendidikan menengah, mungkin baru seratus tahun lagi kita merdeka.

Soalnya bukan apakah bangsa kita sudah cukup sehat untuk merdeka atau belum.

Kalau mau menunggu seluruh rakyat Indonesia bebas disentri, busung lapar, malaria, demam berdarah, influenza, batuk-pilek, seratus tahun pun kita mungkin belum merdeka.

Soalnya sederhana saja: kita ini berani merdeka atau tidak? Itu saja.

Hanya dengan merdeka, kita bisa mengusahakan jalan keluar atas semua masalah yang selama ini membelenggu kita dan membuat kita ragu-ragu merdeka.

Hanya dengan merdeka, dengan mendirikan pemerintahan yang mandiri, kita dapat memberantas buta huruf, menyembuhkan busung lapar, memperkaya bangsa Indonesia.

Bung Karno berseru: “Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!” Untuk itu, rebutlah dulu “jembatan emas” menuju masa depan itu. Rebutlah dulu kemerdekaan kita.

Para anggota sidang bertepuk sorak mendengar uraian Bung Karno. Mereka tak bisa memungkiri kebenaran perkataan insinyur kita.

Untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, pertama-tama bangsa itu harus merdeka terlebih dulu.

Bung Karno kemudian melanjutkan dengan pandangannya tentang dasar negara. Ia tidak mengacu ke teori-teori rumit, tidak mengacung-acungkan buku-buku tebal.

Yang kita butuhkan, kata insinyur kita, bukanlah bangunan teori yang pelik dan terperinci. Yang kita butuhkan adalah dasar negara yang dapat segera diterapkan untuk membangun negara Indonesia merdeka.

Untuk itu, ia berangkat dari pengalaman bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda, dari praktik hidup yang tersebar di berbagai kelompok masyarakat Indonesia.

Pertama-tama, ia menyebut asas kebangsaan. Indonesia tidak hanya terdiri dari etnis Jawa saja, tetapi juga Minang, Batak, Dayak, Bali, Flores, Bugis, Minahasa, Ambon, Papua, peranakan Arab, peranakan Tionghoa, peranakan Indo dan sebagainya.

Mereka pun berbeda-beda agama: ada yang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan berbagai aliran kepercayaan lainnya. Kebiasaan, adat, tradisi, gaya hidup dan alam pemikiran pun berlainan sifatnya.

Maka dari itu, jelas bahwa negara Indonesia merdeka tidak bisa didirikan atas dasar satu etnis atau satu agama atau satu adat-istiadat saja. Negara Indonesia merdeka harus didirikan atas dasar persatuan dari berbagai macam perbedaan di antara rakyat yang tinggal di Nusantara.

Oleh karena itu, Bung Karno mengusulkan dengan jitu, negara Indonesia merdeka harus didirikan atas dasar kebangsaan.

Kebangsaan Indonesia tidak ditentukan atas dasar etnis maupun agama.