SURABAYA, Wartatransparansi.com – Perseteruan hukum antara Widyawati Santoso dan Kwee Ruddy Jananto, dua kakak-beradik yang berselisih soal warisan keluarga, semakin meruncing. Rumah keluarga di Jalan Menur Pumpungan AA-9, Kecamatan Sukolilo, Surabaya, yang luasnya sekitar 1.000 meter persegi, kini telah berubah fungsi menjadi kos-kosan tanpa persetujuan seluruh ahli waris.
Kuasa hukum penggugat, Albertus Soegeng, menilai tindakan pihak tergugat bukan hanya melanggar kesepakatan keluarga, tetapi juga telah menimbulkan kerugian moral dan material bagi pihaknya.
Albertus Soegeng dengan tegas membantah pernyataan pengacara tergugat yang menyebut pihak penggugat menolak mediasi. Ia menilai tudingan tersebut tidak berdasar dan justru memutarbalikkan fakta.
“Saya baca dari pemberitaan teman-teman media, disebutkan bahwa klien kami tidak mau mediasi. Padahal faktanya, apa yang mereka sebut mediasi itu bukan mediasi yang adil dan terbuka, melainkan upaya untuk menguasai seluruh aset melalui satu orang penerima kuasa, yaitu Pak Bambang,” ujar Albertus, Jumat (7/11/2025).
Menurut Albertus, apa yang disebut “undangan mediasi” oleh pihak tergugat ternyata hanyalah surat pemberian kuasa penuh kepada seseorang bernama Bambang. Isi dokumen tersebut bukanlah ajakan musyawarah, melainkan penyerahan seluruh aset dan saham PT terkait warisan kepada satu pihak.
“Isinya bukan ajakan bermusyawarah, tapi pemberian kuasa agar seluruh aset diserahkan ke Bambang. Ya jelas kami menolak. Kalau diterima, sama saja bunuh diri terhadap hak-hak ahli waris,” tambahnya dengan nada tegas.
Albertus juga menyampaikan bahwa timnya telah menyiapkan dua saksi penting yang akan dihadirkan dalam sidang berikutnya di Pengadilan Negeri Surabaya. Kedua saksi tersebut terdiri dari seorang rekan dekat penggugat dan satu anggota keluarga yang memahami asal-usul aset yang disengketakan.
“Dua minggu ke depan kita akan masuk ke tahap pemeriksaan saksi dari penggugat. Kami sudah siap menghadirkan dua saksi yang akan memperjelas duduk persoalan dan kepemilikan yang sah,” ujarnya.
Dari pantauan di lapangan, rumah yang menjadi objek sengketa kini telah berubah fungsi menjadi kos-kosan aktif, lengkap dengan spanduk “Terima Kos” di depannya. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan adanya penguasaan sepihak yang tidak memiliki dasar hukum.
“Bangunan yang masih bersengketa malah dijadikan kos. Ini jelas bentuk penguasaan tanpa dasar hukum yang sah. Kasihan juga para penyewa yang tidak tahu situasi hukumnya,” kata Albertus prihatin.
Humas Pengadilan Negeri Surabaya, S. Pujiono, membenarkan bahwa majelis hakim telah turun langsung meninjau lokasi sengketa. Langkah ini dilakukan untuk memastikan kesesuaian antara isi gugatan dengan kondisi fisik di lapangan.
Namun, hingga sidang terakhir, pihak tergugat maupun turut tergugat diketahui belum pernah hadir dalam persidangan.
“Seharusnya tergugat hadir, tetapi sampai sekarang tidak ada,” ungkap Pujiono saat dikonfirmasi.
Pihak penggugat berharap agar proses hukum dapat berjalan objektif dan transparan, tanpa intervensi atau tekanan dari pihak mana pun. Mereka meminta agar hak kepemilikan warisan dikembalikan sesuai hukum, dan segala bentuk penguasaan sepihak dihentikan segera.
Kasus ini menjadi potret nyata bagaimana persoalan warisan keluarga bisa berubah menjadi konflik panjang bila tidak diselesaikan dengan itikad baik dan kejujuran.
Albertus menutup dengan pesan moral yang menyentuh, bahwa sengketa keluarga semestinya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, bukan dengan cara saling menyingkirkan. (u’ud)





