Oleh Mujianto – Alumni IPNU Kabupaten Blitar Periode 2000-2003
Ahlul halli wal ‘aqdi (AHWA) secara harfiah berarti orang yang dapat memutuskan (melepaskan) dan mengikat.
Ulama Fiqh menyebut Ahlul Halli Wal ‘Aqdi sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas umat.
Tradisi AHWA dicontohkan oleh sahabat Umar bin Khattab saat akan meninggal, dia memilih orang-orang terpercaya sebagai wakil dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar setelah meninggalnya khalifah.
Mereka bermusyawarah dan memutuskan sesuatu yang harus ditaati anggota AHWA dan kaum muslimin, di antaranya keputusannya memilih Utsman bin Affan sebagai penggantinya.
AHWA dan Demokrasi.
Di masa awal NU, tradisi AHWA merupakan institusi khusus yang berfungsi sebagai badan legislatif, berisi orang-orang berpengaruh dalam jamiyyah NU, dibentuk karena keperluan khusus, seperti ketika mengusulkan Indonesia berparlemen, resolusi jihad dan sebagainya.
Berangkat dari pemilihan Rais dilakukan dengan memilih perorangan (head to head), yang dalam kultur NU dinilai kurang baik, karena seolah mengkompetisikan antar ulama, ada ulama yang menang dan kalah.
Pada gilirannya akan menurunkan harkat, martabat dan kemuliaan ulama, maka pembentukan AHWA dimaksud untuk, – menggantikan pemilihan individual Rais.
AHWA menjadi bagian institusi resmi NU pada Muktamar ke 33 di Jombang, dengan memasukkan kedalam (pasal 40-42) ART.
Pada Muktamar ke 34 di Lampung telah memilih (1) KH Dimyati, (2) KH Ahmad Mustofa Bisri, (3) KH Ma’ruf Amin, (4) KH Anwar Manshur, (5) TGH Turmudzi Badaruddin, (6) KH Miftachul Akhyar, (7) KH Nurul Huda Jazuli, (8) KH Ali Akbar Marbun, dan (9) KH Zainal, sebagai AHWA.
Dari 9 anggota AHWA ini, disepakati KH. Miftachul Ahyar (suara ranking 6) menjadi Rais Aam PBNU.
Kriteria AHWA, dalam ART NU Pasal 42 ayat (1) huruf c. jo. Peraturan PBNU Nomor: 01/XII/2022 Pasal 22 ayat (2) : Kriteria ulama yang dipilih menjadi Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Annahdliyah, bersikap adil, ‘alim, memiliki integritas moral, tawadlu’, berpengaruh dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan muharrik serta wara’ dan zuhud.
Masih pada pasal 22 ayat (4) huruf e : ……… anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi melakukan musyawarah untuk menentukan Pimpinan Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Tugas pokok AHWA menurut Pasal 23 (1) adalah memilih Rais dan menurut pasal 16, pemiihan Rais harus dengan musyawarah untuk mufakat, dan tidak diperkenankan berdasarkan suara terbanyak.
Untuk Cabang, Peraturan PBNU Nomor: 01/XII/2022 pasal 22 ayat (1) anggota AHWA 5 orang, sedangkan mekanisme pemilihannya diatur Pasal 22 ayat (3) dan (4), masing-masing MWC dan Ranting mengusulkan 5 orang calon, kemudian ditabulasi, ranking 1-5 menjadi anggota AHWA.
Dari sisi pemilik suara (MWC dan Ranting), memilih adalah melimpahkan amanat dan tanggungjawab kepada yang dipilih (anggota AHWA), sehingga dalam pandangan demokrasi modern mempunyai tanggungjawab secara kolektif, kepada para pemilihnya, selama 5 tahun sesuai masa jabatannya, dan tidak selesai ketika sudah memilih Rais saja.
Merujuk pada awal berdirinya NU, hal-hal penting selalu dikomunikasikan dengan AHWA, meski sekarang belum diformalkan dalam aturan (AD, ART), maka terutama dalam hal-hal yg krusial seyogyanya Rais secara moral mempunyai kewajiban mengkomunikasikan dengan anggota AHWA, begitu juga sebaliknya, karena sama-sama mendapatkan amanah.
Persyaratan calon anggota AHWA yang begitu berat, kemampuan anggota AHWA seharusnya melampaui Rais, karena jika Rais jangkauan kinerja dan tanggungjawabnya dipandu dengan hasil Rakercab, tidak demikian dengan AHWA.
AHWA dituntut untuk mampu menjangkau dan membaca masa depan, baik dari sisi diniyah, sosial, juga konteksnya dengan berbangsa, bernegara serta sebagai bagian dari masyarakat global, untuk merajut ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah.
AHWA Blitar
Seperti diketahui, AHWA terpilih yaitu :
(1), KH Mas’ud Jumhuri (ketua) pengasuh PP Apis Sanan Gondang (penerus KH Imam Suhrowardi alm), (2), KH Ardani Ahmad, (3), KH Azizi Hasbullah alm., (4), KH Fauzi Hamzah, (5), KH Muhroji Azhar.
Meski secara formal tugas AHWA PCNU Kabupaten Blitar telah selesai dengan terpilihnya Rais Syuriyah, namun secara moral dan informal, mestinya ikut menyelesaikan keruwetan yang terjadi saat ini. Selain itu didalam kultur NU, tidak semua persoalan bisa diselesaikan melalui jalur formal aturan.
Setidaknya ada 4 hal yang sangat patut, AHWA ikut menyelesaikannya :
Pertama :
Sudah lebih dari setahun pasca Konvercab XVIII, PCNU belum terbentuk secara definitif.
Tanpa mengesampingkan proses administrasi organisasi, semestinya AHWA bersama Rais terpilih, mengambil langkah bil hikmati wal mau’idhotil hasanah saling komunikasi, memberi dan menerima masukan, karena selama ini ditengarai Rais terpilih tidak melakukan komunikasi dengan AHWA, begitu pula sebaliknya.
Bahkan jika kemungkinan langkah Rais dinilai tidak tepat, AHWA (selaku pemberi amanat Rais) bisa menegur, memberi peringatan, atau bahkan bisa meminta dengan hormat mengundurkan diri.
Bukankah AHWA memilih Rais itu juga merupakan pelimpahan amanah dan tanggungjawab, yang jika tidak bisa dijalankan dengan baik, bisa ditarik kembali dan digantikan yang lain ?
Bukankah sebagai top leader PCNU hasil Konfercab XVIII, yang ditunjuk/ ditugasi oleh AHWA menjadi Rais, sekaligus Ketua Tim Formatur, sampai setahun lebih tidak bisa menyelesaikan struktur organisasi secara definitif, masih perlu dipertahankan ?
Semua ini merupakan tanggungjawab moral secara kolektif anggota AHWA yang dahulu memilihnya.
Kedua:
Terbitnya Surat PBNU nomor 1677/PB.03/A.I.03.44/99/03/2024, yang isinya meminta Rais mendiskuaifikasi H. Arif Fuadi sebagai ketua terpilih, dan memfasilitasi Pemilihan ulang.
Ada 2 sisi kepentingan Rais:
- Terpilihnya H. Arif Fuadi adalah kehendak mayoritas warga NU melalui suara pemilih dengan cara Konfercab;
- Pemilihan Ulang adalah kehendak PBNU, karena menganggap H. Arif Fuadi terpilih tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan.