Oleh : Tomy Michael
“Kita menuntun orang menuju sudut pandang kita dengan cara mengajar mereka, memenangkan simpati mereka dan mengaduk-aduk emosi mereka” adalah salah satu paragraph dalam karya Marcus Tullius Cicero berjudul How To Win An Argument. Rupanya tidak harus agresif tetapi bisa lemah lembut dalam berargumen.
Kalimat tadi terasa tepat menyikapi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden (PerKPU 19/2023) khususnya pada bagian menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Apalagi sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menghasilkan banyak laporan dari berbagai pihak.
Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf q termaktub bahwa berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan pada huruf a termaktub bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Munculnya pasal alamiah ini memberikan kepastian hukum akan apa yang terjadi akhirnya diputuskan tetapi kemungkinan berubah kecil. Sebetulnya pembatasan ini menimbulkan pro dan kontra karena seolah-olah generasi muda tidak bisa menjadi presiden dan/atau wakil presiden walaupun penuh prestasi.
Mengingat sebentar definisi pemuda dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yaitu warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Namun apabila dikaitkan dengan bernegara ala Socrates maka Aristokrasi adalah negara yang ideal karena filsuf berada didalamnya. Sudah pasti filsuf berumur dan dia bijaksana.
Apakah yang dicari dengan adanya pembatasan usia minimal? Pertama yaitu dengan melihat sifat negara maka hanya ia yang mengetahui hakikat sebenarnya. Dengan sifat monopoli, memaksa dan keduanya akan menjadikan legitimasi semakin kuat.
Keinginan masyarakat merupakan sesuatu yang bisa dipilih negara untuk dikabulkan karena berdasarkan prioritas.
Jika dibaca secara seksama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (UUD NRI Tahun 1945) bahwa Dewan Perwakilan Rakyat secara keilmuan adalah pemegang kekuasaan legislatif dalam membentuk peraturan perundang-undangan tetapi presidenlah yang tertinggi.
Terkesan menyalahi trias politika tetapi semuanya diserahkan kembali pada pembuat undang-undang. Misalnya saya ingin negara bebas polusi sementara hasrat naik motor pribadi tidak berkurang maka keinginan itu tidak layak dikabulkan.
Kedua perlu diketahui bahwa model kepemimpinan yang diadopsi Indonesia adalah milik Amerika Serikat dimana salah satunya memberikan definisi tentang perbuatan tercela sebagai salah satu syarat pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.