Oleh: Nuriya Maslahah, M.Pd.
(Guru Bahasa Arab MAN Sidoarjo)
Pendidikan dalam bahasa Arab disebut at-tarbiyah (التَّرْبِيَّةُ) berasal dari kata rabbaa berwazan fa’ala -ain tasydid-, dalam ilmu tasrif lengkapnya seperti ini rabbaa-yurabbii-tarbiyyan-tarbiyyatan-tarbaa.an-tirbaa.an-murabban-fahuwa-murabbin-wa dzaaka-murabban-rabbi-laa turabbi-murabban 2x. At-tarbiyah (التَّرْبِيَّةُ) pada kamus fenomenal al-Munawwir karya KH. Ahmad Warson Munawwir bermakna pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan.
Pendidikan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pemerintah Republik Indonesia memilih dan menetapkan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional karena tanggal tersebut adalah hari lahir Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Dahulu, Ki Hajar Dewantara sudah memikirkan dengan matang mengenai konsep pendidikan yang seharusnya sudah relevan digunakan pada masa ini, diantaranya adalah menuntun; berorientasi pada anak, kemerdekaan belajar; 3 semboyan ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani; pendidikan sebagai pembudayaan; dan pendidikan sebagai proses. Konsep-konsep tersebut sudah diterapkan Ki Hajar Dewantara dalam “Taman Siswa”nya jauh sebelum Indonesia merdeka, lalu dilanjutkan setelah merdeka berbagai macam nama kurikulumnya, termasuk kurikulum yang terakhir, yakni Kurikulum Merdeka yang menggaungkan Merdeka Belajar.
Konsep pendidikan yang disajikan saat ini di Indonesia memusatkan proses pembelajaran pada peserta didik atau siswa. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Kurikulum Merdeka pada sekolah dan madrasah menekankan pada kebebasan belajar dan kemandirian peserta didik, adapun guru atau pendidik hanya sebagai fasilitator dan penuntun. Diiringi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, apalagi munculnya Artificial Intelligence, dimana teknologi mampu menjalankan bahkan menggantikan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, membuat peserta didik jaman sekarang semakin tak terbatas pergerakannya. Semua hal, mulai materi pembelajaran, media pembelajaran, buku-buku pembelajaran, semuanya bisa diakses dengan teknologi dan AI tadi.
Manfaat yang didapat memang sangat besar dan banyak, semua hal menjadi lebih sederhana dan singkat. Namun perkembangan teknologi yang tak terbatas itu tidak diiringi dengan sosialisasi mengenai etika dalam penggunaannya. Temuan terakhir, tidak lama ini, berdasarkan pengalaman pribadi, bahkan jawaban atas asesmen ujian peserta didik sudah tidak berdasarkan nalar manusia, melainkan “nalar” AI, sehingga hampir semua jawaban sama dan persis. Inilah yang jadi “pekerjaan rumah” bersama. Peserta didik mendapatkan konsep kemerdekaan belajar, namun di sisi lain mereka tidak menerapkan pendidikan sebagai pembudayaan yang di dalamnya ada pembentukan budi pekerti atau tata krama. Padahal dalam penerapannya, teknologi harus diimbangi dengan penerapan tata krama atau etika digital yang baik.