Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah, Pemerintah seperti juru bicara penjajah telah memberikan sejumlah penawaran agar warga Pulau Rempang bersedia direlokasi. Beberapa fasilitas menggiurkan dijanjikan oleh pemerintah kepada warga Pulau Rempang, tidak lebih memang rayuan maut.
Pertama, Tempat Tinggal Baru: Pemerintah akan menyediakan tempat tinggal baru atau relokasi bagi warga yang bersedia pindah.
Bahkan, tempat tinggal ini akan dibangun di atas tanah seluas 500 hektare yang berdekatan dengan laut, memudahkan nelayan mencari nafkah.
Kedua, Dermaga. Karena mata pencaharian utama warga Pulau Rempang adalah melaut, pemerintah berjanji untuk membangun dermaga yang akan memudahkan nelayan setempat.
Ketiga, Tempat Tinggal Sementara dan Biaya Hidup. Bagi warga yang setuju untuk pindah, pemerintah akan memberikan biaya hidup per kepala keluarga.
Keempat, Beasiswa. Dimana anak-anak di Pulau Rempang akan mendapatkan beasiswa pendidikan tinggi, termasuk kesempatan untuk bersekolah di China, terutama bagi yang tinggal di 15 titik di Pulau Rempang.
Kelima, Lapangan Pekerjaan. Lulusan asal Pulau Rempang yang menyelesaikan pendidikan di China dengan beasiswa akan diberikan lapangan pekerjaan, terutama di pabrik kaca yang direncanakan akan dibangun di Pulau Rempang.
Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah. Janji fasilitas menggiurkan merobek robek hati suci perjuangan warga Pulau Rempang, mereka “diam” takluk dalam hipnotis kekuasaan tanpa tahu berpihak kepada siapa. Memberikan harga kepada warga pribumi sebagai pemilik adat istiadat yang sah dan tetek bengek peradaban. Atau sekedar melihat mereka (memang) bukan tuan dan bukan siapa siapa.
Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah. Mereka benar benar dipaksa dijajah dengan cara cara sedemikian rupa supaya menyerahkan nyawa pun tanpa terasa. Apalagi sekedar tanah nenek moyang, harta benda bersejarah, sejarah turun temurun dalam menenun paradaban kuno dan sakral (karena memang), semua itu bahasa menjaga dan mengisi kemerdekaan secara nyata. Bukan menggadaikan kemerdekaan karena sengaja membuang barang terlarang, juga ada niat berkhianat. Karenanya ssmua boleh lupa dan menyerah tetapi “para petani” tetap pasrah Semata mata karena Tuhan. Bukan karena juru bicara penjajah, apalagi rekayasa mengelabui cita rasa anak bangsa.
Menunggu saja kekuatan dahsyat. Laknat atau rahmat menjadi sejarah “Ketuhanan yang Maha Esa” berbicara pada Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah. Tetap menjaga “Persatuan Indonesia. (*)