Minggu, 3 Desember 2023
29 C
Surabaya
More
    OpiniTanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah

    Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah

    Indonesia dengan kekayaan alam begitu melimpah ruah, kekayaan sejarah dengan berbagai peradaban begitu kaya raya berjaya tersentuh ramah, dengan kekayaan pergolakan perlawanan begitu rupa tanpa mau menyerah walau bukan karena apa apa. Juga karena diminta. Apalagi karena citra semata.

    Indonesia dalam catatan sejarah (kadang hilang), selalu saja dalam himpitan para tuan tanah merampas dengan cara meminta pura pura pemilik ikhlas, merampok dengan niat mengusir pemilik sampai ke pinggiran pojok, menindas dengan modus menggilas pemilik sampai terasa malas bernafas.

    Indonesia dalam sejarah kemerdekaan memang sudah 78 tahun (dinyatakan merdeka), tetapi seperti baru kemarin bendera merah putih berkibar kibar. Itupun setengah hati karena banyak anak negeri belum merdeka secara sejati. Apalagi menjadi tuan di negeri sendiri bernama KNRI, dengan semboyan lebih ngeri lagi “NKRI harga mati”. Pemilik sah negeri ini boleh boleh saja “mati suri” menerima kenyataan para pelancong dan “pemain haram” negeri ini, menjajah dengan penuh kesadaran, memiskinkan pemilik sah negeri ini dengan penuh kepura-puraan.

    Indonesia dalam catatan (kadang kadang hilang dari pandang) selalu saja terselamatkan, karena getaran qolbu “para petani” mendapat perintah suci menanamkan kemuliaan di atas tanah milik ibu pertiwi, walaupun sudah berjuta juta khayalan mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” hanya lantang pada upacara bendera dan seminar-seminar memohon perhatian dunia. Bukan berniat segera mewujudkan kesejehtaraan anak bangsa.

    Indonesia dalam catatan (kadang kadang hilang dari ingatan), timbul tenggelam dalam memerangi kebatilan. (maaf) karena “Kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya lantang di jalan-jalan dan pembelaan para pendekar juga pakar tentang keadilan, karena mereka asyik menikmati “buah ketidakadilan” untuk kemakmuran segelintir orang. Bahkan menipu jutaan orang, hanya karena membela satu dua tuan tuan tanah.

    Indonesia dalam catatan sejarah (kadang kadang hanya pencitraan), bermain-main politik untuk membesar-besarkan demokrasi dan hak asasi manusia. Walau sesunggunya semua itu justru menginjak injak hak asasi manusia dan demokrasi sejati. Mereka pemilik sah republik ini dibiarkan mati karena (sengaja) dibuat sakit hati. Mereka pemilik sah negeri ini diayun-ayunkan
    hingga (tanpa terasa) jatuh terperosok tersungkur karena godaan berbau kufur.

    Indonesia kembali berperang melawan penjajah, ketika pemilik sah tanah Rempang melawan bala tentera membabi buta mengusir dengan cara mereka. Para pemilik sah Pulau Rempang digusur (seperti susur) diputar putar dalam mulut, diadu domba sesama dan difitnah pada berita media dalam banyak rupa.

    Indonesia ketika sudah lupa, bahwa baru saja merayakan kemerdekaan yang terjajah, karena hanya rencana proyek pembangunan Rempang Eco City, membiarkan rakyat angkat bicara dan angkat senjata, pada tanggal 8 September 2023. Walaupun seperti drama saja, apakah memang skenario semua itu pada akhir bulan ini para penyundang akan menjadi pemenang.

    Indonesia ketika sudah lupa bahwa
    Pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bermain main dengan Pulau Rempang. Walau ratusan tahun anak negeri di pulau itu menjadi perisai negeri dengan segala keramahan dan kelemahan menjaga sejengkal tanah air ini. Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah.

    Indonesia ketika sudah lupa bahwa pribumi dengan stempel apa saja, apalagi Melayu adalah asal muasal penenun kebangsaan negeri ini, penenun kenegaraan negeri ini, penenun cita cita anak kepulauan menjadi anak negeri ibu Pertiwi. Masihkah mereka dengan berbagai dalih kebangsaan dan kenegaraaan karena (membela investor) lagi lagi menjadi korban tipu-tipu.

    Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah, semakin dekat juga nyata ketika Indonesia benar-benar melupakan sejarah dan kadang kadang memang lupa. Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, bertemu dengan masyarakat untuk mendengar aspirasi mereka. Bahkan menyatakan
    sudah melakukan pendekatan awal dengan masyarakat Pulau Rempang, dan hampir 50 persen dari mereka telah menerima usulan atau rayuan.

    Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah, Pemerintah seperti juru bicara penjajah telah memberikan sejumlah penawaran agar warga Pulau Rempang bersedia direlokasi. Beberapa fasilitas menggiurkan dijanjikan oleh pemerintah kepada warga Pulau Rempang, tidak lebih memang rayuan maut.

    Pertama, Tempat Tinggal Baru: Pemerintah akan menyediakan tempat tinggal baru atau relokasi bagi warga yang bersedia pindah.

    Bahkan, tempat tinggal ini akan dibangun di atas tanah seluas 500 hektare yang berdekatan dengan laut, memudahkan nelayan mencari nafkah.

    Kedua, Dermaga. Karena mata pencaharian utama warga Pulau Rempang adalah melaut, pemerintah berjanji untuk membangun dermaga yang akan memudahkan nelayan setempat.

    Ketiga, Tempat Tinggal Sementara dan Biaya Hidup. Bagi warga yang setuju untuk pindah, pemerintah akan memberikan biaya hidup per kepala keluarga.

    Keempat, Beasiswa. Dimana anak-anak di Pulau Rempang akan mendapatkan beasiswa pendidikan tinggi, termasuk kesempatan untuk bersekolah di China, terutama bagi yang tinggal di 15 titik di Pulau Rempang.

    Kelima, Lapangan Pekerjaan. Lulusan asal Pulau Rempang yang menyelesaikan pendidikan di China dengan beasiswa akan diberikan lapangan pekerjaan, terutama di pabrik kaca yang direncanakan akan dibangun di Pulau Rempang.

    Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah. Janji fasilitas menggiurkan merobek robek hati suci perjuangan warga Pulau Rempang, mereka “diam” takluk dalam hipnotis kekuasaan tanpa tahu berpihak kepada siapa. Memberikan harga kepada warga pribumi sebagai pemilik adat istiadat yang sah dan tetek bengek peradaban. Atau sekedar melihat mereka (memang) bukan tuan dan bukan siapa siapa.

    Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah. Mereka benar benar dipaksa dijajah dengan cara cara sedemikian rupa supaya menyerahkan nyawa pun tanpa terasa. Apalagi sekedar tanah nenek moyang, harta benda bersejarah, sejarah turun temurun dalam menenun paradaban kuno dan sakral (karena memang), semua itu bahasa menjaga dan mengisi kemerdekaan secara nyata. Bukan menggadaikan kemerdekaan karena sengaja membuang barang terlarang, juga ada niat berkhianat. Karenanya ssmua boleh lupa dan menyerah tetapi “para petani” tetap pasrah Semata mata karena Tuhan. Bukan karena juru bicara penjajah, apalagi rekayasa mengelabui cita rasa anak bangsa.

    Menunggu saja kekuatan dahsyat. Laknat atau rahmat menjadi sejarah “Ketuhanan yang Maha Esa” berbicara pada Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah. Tetap menjaga “Persatuan Indonesia. (*)

    Penulis : Djoko Tetuko

    Sumber : WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan