Opini  

Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah

Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah

Indonesia dengan kekayaan alam begitu melimpah ruah, kekayaan sejarah dengan berbagai peradaban begitu kaya raya berjaya tersentuh ramah, dengan kekayaan pergolakan perlawanan begitu rupa tanpa mau menyerah walau bukan karena apa apa. Juga karena diminta. Apalagi karena citra semata.

Indonesia dalam catatan sejarah (kadang hilang), selalu saja dalam himpitan para tuan tanah merampas dengan cara meminta pura pura pemilik ikhlas, merampok dengan niat mengusir pemilik sampai ke pinggiran pojok, menindas dengan modus menggilas pemilik sampai terasa malas bernafas.

Indonesia dalam sejarah kemerdekaan memang sudah 78 tahun (dinyatakan merdeka), tetapi seperti baru kemarin bendera merah putih berkibar kibar. Itupun setengah hati karena banyak anak negeri belum merdeka secara sejati. Apalagi menjadi tuan di negeri sendiri bernama KNRI, dengan semboyan lebih ngeri lagi “NKRI harga mati”. Pemilik sah negeri ini boleh boleh saja “mati suri” menerima kenyataan para pelancong dan “pemain haram” negeri ini, menjajah dengan penuh kesadaran, memiskinkan pemilik sah negeri ini dengan penuh kepura-puraan.

Indonesia dalam catatan (kadang kadang hilang dari pandang) selalu saja terselamatkan, karena getaran qolbu “para petani” mendapat perintah suci menanamkan kemuliaan di atas tanah milik ibu pertiwi, walaupun sudah berjuta juta khayalan mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” hanya lantang pada upacara bendera dan seminar-seminar memohon perhatian dunia. Bukan berniat segera mewujudkan kesejehtaraan anak bangsa.

Indonesia dalam catatan (kadang kadang hilang dari ingatan), timbul tenggelam dalam memerangi kebatilan. (maaf) karena “Kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya lantang di jalan-jalan dan pembelaan para pendekar juga pakar tentang keadilan, karena mereka asyik menikmati “buah ketidakadilan” untuk kemakmuran segelintir orang. Bahkan menipu jutaan orang, hanya karena membela satu dua tuan tuan tanah.

Indonesia dalam catatan sejarah (kadang kadang hanya pencitraan), bermain-main politik untuk membesar-besarkan demokrasi dan hak asasi manusia. Walau sesunggunya semua itu justru menginjak injak hak asasi manusia dan demokrasi sejati. Mereka pemilik sah republik ini dibiarkan mati karena (sengaja) dibuat sakit hati. Mereka pemilik sah negeri ini diayun-ayunkan
hingga (tanpa terasa) jatuh terperosok tersungkur karena godaan berbau kufur.

Indonesia kembali berperang melawan penjajah, ketika pemilik sah tanah Rempang melawan bala tentera membabi buta mengusir dengan cara mereka. Para pemilik sah Pulau Rempang digusur (seperti susur) diputar putar dalam mulut, diadu domba sesama dan difitnah pada berita media dalam banyak rupa.

Indonesia ketika sudah lupa, bahwa baru saja merayakan kemerdekaan yang terjajah, karena hanya rencana proyek pembangunan Rempang Eco City, membiarkan rakyat angkat bicara dan angkat senjata, pada tanggal 8 September 2023. Walaupun seperti drama saja, apakah memang skenario semua itu pada akhir bulan ini para penyundang akan menjadi pemenang.

Indonesia ketika sudah lupa bahwa
Pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bermain main dengan Pulau Rempang. Walau ratusan tahun anak negeri di pulau itu menjadi perisai negeri dengan segala keramahan dan kelemahan menjaga sejengkal tanah air ini. Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah.

Indonesia ketika sudah lupa bahwa pribumi dengan stempel apa saja, apalagi Melayu adalah asal muasal penenun kebangsaan negeri ini, penenun kenegaraan negeri ini, penenun cita cita anak kepulauan menjadi anak negeri ibu Pertiwi. Masihkah mereka dengan berbagai dalih kebangsaan dan kenegaraaan karena (membela investor) lagi lagi menjadi korban tipu-tipu.

Tanah Air Rempang, Tanah Nenek Moyang, Tanah Tuan Tanah, semakin dekat juga nyata ketika Indonesia benar-benar melupakan sejarah dan kadang kadang memang lupa. Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, bertemu dengan masyarakat untuk mendengar aspirasi mereka. Bahkan menyatakan
sudah melakukan pendekatan awal dengan masyarakat Pulau Rempang, dan hampir 50 persen dari mereka telah menerima usulan atau rayuan.