(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. Dan
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. Serta
(5) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
Butir-butir sila ke-3 Pancasila, “Persatuan Indonesia” dengan mewujudkan;
(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(3) Mengembangkan persatuan dan kesatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. Dan
(4) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sedangkan berkaitan dengan butir-butir sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ialah perwujudan;
(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Sebagaimana dilansir dari “NUOnline” bahwa
penggagas istilah “halal bi halal” ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun. Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan halal bi halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah halal bi halal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Begitu dahsyat halal bi halal menjadi perekat kebangsaan dalam beragama, berbangsa dan bernegara, maka jika pada Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriyah, setelah masa Pandemi Covid-19 mulai negosiasi menuju Endemi, maka menjadi saat paling tepat mengembalikan halal bi halal kebangsaan di setiap ruang kehidupan sebagai kekuatan kesatuan anak bangsa, sekaligus menjaga tradisi beragama dengan menjunjung tinggi akhlakul karimah (budi pekerti luhur/bermoral mulia). Menunjukkan kepada dunia bahwa Islam Nusantra di Indonesia merajut kebangsaan dan menjaga perdamaian dunia dengan penguatan tradisi beragama dalam perwujudan sosial begitu mulia. (*)