Oleh : Sarifa Kirana Nuraini
Jika pada masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) kecanggihan teknologi telah mengilhami keterbatasan pertemuan secara offline (tata muka) dengan online melalui zoom virtual, menyambungkan silaturrahmi dan pertemuan kebangsaan dalam kemasan halal bi halal. Bahkan dengan mengandalkan kecanggihan teknologi itu, maka silaturrahmi kebangsaan tetap terjaga. Dan kini pada saat pembatasan sosial sudah dikendorkan, adalah saat paling tepat merajut kembali kebangsaan dengan tatap muka langsung dan sebagaiannkecil online, jika tidak memungkinkan.
Merajut kembali halal bi halal kebangsaan dengan menyelenggarakan pertemuan tatap muka, sungguh sangat indah dipandang mata maupun semata-mata dinikmati sebagai khazanah menghidupkan nilai-nilai berbangsa dan bernegara setelah hampir dua tahun redup karena Covid-19. Inilah saat kembali menggelorakan kebhinekaan anak bangsa dalam tradisi sangat mulai nan indah bernama “halal bi halal”.
Mengapa begitu kuat sebagai halal bi halal kebangsaan, karena cikal bakal nama kren dan modern dalam beragama, berbangsa dan bernegara ini, (memang) dengan menggelar tradisi saling menghalalkan, saling memaafkan, saling menghormati, saling memberikan simpati dan empati, saling memberikan ketenangan hati sebagai sama-sama anak kandung ibu pertiwi dengan berjabat tangan serta berangkulan saling memaafkan. Juga merelakan. Indah nian tradisi bangsa Indonesia sebagai warisan Islam Nusantara.
Islam Nusantara (memang) bukan juga sebagai persaingan Islam Rahmatan Lilaalamiin. Tetapi mengembangkan kekuatan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka di bumi Nusantara Indonesia tercinta, penguatan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dilestarikan sebagai tradisi Islam dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Bahkan menjadi kekuatan dakwah sekaligus syiar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama yang mutlak “memperoleh hidayah atau tertolaknya hidayah” karena semata-mata Hak Pregratif Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Halal bi halal sendiri, menjadi ciri khas tradisi umat Islam Indonesia sebagian menyebut Islam Nusantara, sejak KH Abdul Wahab Chasbullah memberikan jawaban kepada Presiden Soekarno yang ingin menyatukan umat Islam beserta umat beragama lain dalam suasana keagamaan dalam kemasan nasionalisme. Maka ketika itu lahirlah sebuah silaturrahmi dalam pertemuan warna kebangsaan bernama “Halal bi halal”.
Halal bi halal tidak hanya menjadi satu-satunya tradisi umat Islam secara nasional, tetapi tidak dikenal di dunia internasional. Bahkan ajaran umat paling modern pun tidak mengenal silaturrahmi dalam pertemuan besar dengan menyatukan umat Islam maupun kepentingan lain dalam kasanah persatuan dan kesatuan.
Dalam perkembangan berbangsa dan bernegara, Halal bi halal menjadi salah satu acara nasional sebagai kelanjutan tradisi setelah Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Raya Ketupat. Bahkan dalam kurun waktu yang tidak terbatas pada bulan Syawal saja atau satu bulan setelah hari raya Idul Fitri.
Di Era Orde Baru maupun Era Reformasi, Halal bi halal semakin berkembang menjadi budaya baru perekat kebangsaan nasional. Hal itu sebagai perwujudan Pancasila ;
Sebagaimana butir-butir sila ke-2, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
(Nomor 1). Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.