Kamis, 3 Oktober 2024
31 C
Surabaya
More
    OpiniPojok TransparansiSenjata Nuklir Ekonomi

    Senjata Nuklir Ekonomi

    Oleh Laksamana Sukardi

    Dalam zaman globalisasi dan teknologi, senjata ekonomi menjadi semakin ampuh untuk melumpuhkan ekonomi suatu negara, karena globalisasi ekonomi telah membuat ketergantungan ekonomi suatu negara terhadap ekonomi global.
    Kemajuan teknologi, telah merajut saling ketergantungan dan membuat sebuah negara akan sangat mudah hancur jika lepas dari rajutan tersebut. Siapa yang menghancurkan siapa? Tentu sebuah pertanyaan yang ada pada benak kita.

    Yang digdaya adalah kelompok negara yang menguasai teknologi dan yang rentan adalah negara pengguna teknologi tetapi tidak mengontrol teknologi tersebut.
    Salah satu contohnya adalah system teknologi keuangan internasional yang disebut SWIFT (Society Worlwide Interbank Financial Telecommunication) yang merupakan pintu bagi perbankan terhadap transaksi keuangan internasional. SWIFT berfungsi sebagai clearing house, sistim pembayaran dan informasi keuangan lainnya. Tanpa keanggotaan SWIFT pada sebuah bank, maka fungsi intermediasi bank tersebut akan hilang dan bank menjadi tidak berfungsi.

    Yang paling mutakhir adalah teknologi dibidang e-comerce yang telah menghancurkan keberadaan lembaga intermediasi komersial seperti pedagang retail, agen perjalanan, bioskop, televisi dan segala kehidupan social yang telah dikuasai oleh pemilik teknologi tersebut.

    Dengan demikian hampir setiap aspek kehidupan masyarakat dari suatu negara akan dikontrol oleh negara lain yang menguasai teknologi. Oleh karena itu seperti yang kita lihat dalam peperangan di Ukraina, Amerika dan negara Uni Eropa telah menggunakan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Sanksi ekonomi ini sebenarnya adalah merupakan bukti kedigdayaan teknologi.

    Pemblokiran keanggotaan perbankan Rusia dari sistim SWIFT, terbukti merupakan kekuatan mematikan. Oleh karena itu, SWIFT sekarang disebut sebagai “Senjata Nuklir Ekonomi”. Akibatnya tidak hanya perbankan Rusia yang tidak berfungsi, mata uang Ruble Rusia pun kehilangan fungsi sebagai alat tukar barang dan jasa. Rusia dipaksa mundur seperti menuju zaman sebelum ada komputer, bahkan mundur kezaman yang tidak ada sistim keuangan dan perbankan. Perdagangan hanya bisa dilakukan dengan tukar guling atau imbal beli barang!

    Dana cadangan Bank Sentral Rusia dan dana milik oligark serta warga negara Rusia diluar negri telah terblokir secara otomatis.
    Apakah ada negara yang mampu menangkal Senjata Nuklir Ekonomi tersebut?

    Kenyataannya sangat sulit, apalagi integrasi ekonomi global, telah membuat saling ketergantungan antar negara semakin tinggi, baik dari sisi perdagangan terbuka maupun dari arus dana investasi yang bergerak secara bebas.

    Tidak ada negara yang mampu menangkal senjata nuklir ekonomi tersebut, oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi banyak negara didunia untuk bergabung dan menempuh strategi bagaimana memaksimalkan keuntungan ekonomis (rente ekonomi) dari sistim tersebut, walaupun ekonominya akan menjadi semakin rentan.

    Baca juga :  Refleksi Lima Tahun Kepemimpinan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

    Suatu negara akan mampu menahan serangan senjata ekonomi tersebut jika negara tersebut mampu mengurangi ketergantungan dari pasar global dan ketergantungan dari teknologi yang dikuasai negara lain. Namun negara ersebut harus memiliki paling tidak lima syarat sebagai berikut: Geografi yang luas; Sumber kekayaan alam, energi dan mineral (untuk ketahanan energi dan bahan baku industri); Keaneka-ragaman hayati (untuk ketahanan sandang dan pangan); Jumlah penduduk yang cukup besar (untuk menciptakan sumber manusia berdaya dan pasar domestic yang besar); Tidak lagi mempertentangkan ideologi dasar dan konstitusi negara (untuk jaminan stabilitas internal).

    Dengan memilik faktor tersebut, maka suatu negara akan mampu meminimalisas ketergantungan terhadap ekonomi global, yaitu dengan menciptakan ekonomi berdasarkan kekuatan permintaan didalam negeri (domestic-demand) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki ketersediaan suplai bahan baku bagi kebutuhan kegiatan ekonomi dari dalam negeri (energi, sandang, pangan dan papan).

    Ada beberapa negara didunia yang memiliki kelima faktor tersebut diatas secara significan, yaitu Amerika, Tiongkok, Brasil dan Indonesia.

    Amerika seperti kita ketahui telah memiliki dan mengontrol teknologi global, sedangkanTiongkok merupakan negara yang sedang berupaya untuk melepaskan diri dari kontrol teknologi global. Negara lainnya menempuh strategi untuk ikut meningkatkan keuntungan ekonomis dari teknologi global dan berpartisipasi turut bergabung memperkuat teknologi tersebut.

    Upaya Tiongkok tersebut dapat dilihat dari gigihnya mereka membangun jaringan infrastruktur dalam negeri untuk meningkatkan mobilitas ekonomi. Gencarnya pembangunan infrastruktur pelabuhan, airport, jalan toll, kereta api cepat dan jaringan internet yang sangat penting bagi efisiensi ekonomi dan logistik nasional, merupakan bukti sebagai persiapan untuk peningkatan daya tahan ekonomi.

    Dibidang teknologi e-comerce, Tiongkok tidak menjual eco-system (pasar media sosial domestic) kepada Facebook, Whatsap, Google, Amazon, Grab dll yang tidak dikontrol oleh mereka. Tiongkok berpendirian bahwa “eco-system” adalah hak kedaulatan yang tidak dilepas dan tidak boleh dikontrol oleh negara lain.

    Dalam memegang prinsip seperti ini mereka bahkan membatalkan rencana ratusan milyar dollar go-public group ANTS yang dimiliki oleh Jack Ma pendiri Ali Baba.
    Pemerintah China juga melakukan pembersihan (crack down) kepada perusahaan teknologi berbasis applikasi yang melantai di Bursa Saham New York. Salah satunya adalah “Didi” aplikasi taxi online.

    Untuk itu, china bekerja keras membangun teknologi mandiri untuk “eco-system” domestic seperti Baidu (pengganti Google), WeChat (pengganti Whatsap), Ali Baba dibidang e-commerce dan ewallet dan lain lain yang semuanya adalah dikembangkan dan dikontrol oleh pemerintah Tiongkon. Intinya mereka menganggap “our ecco-system is not for sale!”

    Baca juga :  Refleksi Lima Tahun Kepemimpinan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

    Lalu bagaimana dengan Indonesia yang juga memiliki kelima faktor tersebut? Jangan keburu sumringah! Karena kelima hal tersebut hanya merupakan bahan baku atau ingredients yang masih harus dimasak dan dikelola dengan resep yang tepat.
    Jika salah resep dan salah masak, maka bahan bahan tersebut tidak akan berfungsi secara efektip bahkan bisa menjadi mubazir dan dimasak oleh orang lain.

    Dalam jangka panjang, pembangunan Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki lima faktor tersebut, harus diarahkan kepada prioritas penguataan daya tahan energi, daya tahan pangan dan memaksimalkan mata rantai industry domestik (domestic supply chain) yang meminimalisasi ketergantungan terhadap perdagangan internasional utamanya impor barang dan jasa.

    Contoh yang sudah kadung salah misalnya merubah pola makanan utama rakyat Indonesia dari berbasis beras kepada makanan berbasis gandum yang seratus persen diimpor. Konsumsi gandum per kapita di Indonesia adalah sebesar 30,5 kg/tahun telah melebihi konsumsi beras perkapita yang sebesar 27 kg/tahun. Padahal Indonesia harus mengimpor 100 % gandum karena tidak bisa ditanam di tanah Indonesia! Indonesia membuat dirinya rentan terhadap pasokan gandum dari luar negeri!
    Hal tersebut diatas hanya merupakan salah satu hal kecil yang salah besar bagi upaya peningkatan ketahanan pangan nasional.

    Kesalahan besar terjadi dibidang energi. Pada tahun 1990an Indonesia pernah memproduksi gas alam cair (LNG) terbesar didunia, yaitu di Arun Lhokseumawe Aceh yang pernah menjadi penyumbang devisa terbesar secara nasional.
    Pada waktu puncaknya, ditahun 1994 Kilang LNG Arun memproduksi 224 kapal kargo dengan volume LNG sebesar 220 juta standar metrik kaki kubik per hari (million metric standard cubik feet per day / MMSCFD).

    Satu kargo nilainya pada waktu itu US$10 juta. (Hitung aja sendiri berapa nilai LNG yang diangkut per hari).

    Hampir Sebagian besar LNG tersebut diangkut ke Jepang dan Korea Selatan untuk menunjang industri otomotif di Jepang. Pada tahun 2014 LNG Arun berhenti operasi karena sudah habis.

    Industri industri yang menggunakan LNG di Aceh seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT ASEAN Aceh Fertilizer dan PT Kertas Kraft Aceh akhirnya juga ikut gulung tikar.

    Kedua contoh diatas merupakan contoh dari salah masak dan salah resep dari bahan baku (ingredient) yang bagus. Sumber energi habis tidak meninggalkan bekas kesejahteraan bagi rakyat di Lhokseumawe.

    Seharusnya pemerintah (orde baru) pada waktu itu tidak menghidupkan industri otomotif di Jepang, dengan mengangkut semua cadangan gas alam cair dari Lhokseumawe ke Jepang, tetapi seharusnya mengundang perusahaan perusahaan otomotif Jepang beserta “keiretsu” nya (pabrikan pembuat suku cadang otomotif) untuk membangun industri di Indonesia. Dengan demikian bangsa Indonesia akan menikmati manfaat ekonomis dari sumber daya energi yang dimiliki. Perbaikan taraf hidup, keahlian dan terciptanya domestik supply chain yang meningkatkan ketahanan ekonom nasional dari potensi embargo, sanksi dan perang.

    Baca juga :  Refleksi Lima Tahun Kepemimpinan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

    Indonesia masih memiliki Sumber Gas Alam di Tangguh Papua Barat dan Marsela di Maluku yang seyogyanya bisa dijadikan sumber ketahanan energi nasional. Masalahnya semua ekspolrasi dan eksploitasi migas di Indonesia masih dilakukan oleh kontraktor asing yang memiliki modal dan teknoogi. Walaupun Indonesia telah memproduksi minyak sejak tahun 1970an (lebih dari 50 tahun), ternyata kita masih belum mampu belajar dan mandiri.

    Kedepan, kita harus bisa menempuh kebijaksanaan bahwa Industri harus menghampiri sumber energi di Indonesia ketimbang sumber energi diangkut untuk industry dinegara lain. Kebutuhan pengamanan Fiskal jangka pendek harus diimbangi dengan strategi penguatan daya tahan ekonomi jangka Panjang.

    Dibidang information teknologi, e-comerce dan lain lain, ternyata Indonesia telah bangga memiliki beberapa Unicorn (Perusahaan dengan nilai pasar diatas US$1 milyar) seperti Gojek, Toko Pedia, Buka Lapak, dll. Namun berbeda dengan Tiongkok, Indonesia menyerahkan “ecco- system” yang dimiliki dalam kontrol dan genggaman teknologi yang dikuasai negara lain. Indonesia merupakan pengguna Facebook dan whatsapp terbesar didunia! Selamat dan bangga!

    Dengan demikian, walaupun memiliki lima faktor penentu terbentuknya daya tahan ekonomi nasional yang tinggi Indonesia masih jauh dari apa yang seharusnya dapat dicapai.

    Tidak perlu menggunakan Senjata Nuklir Ekonomi untuk menghancurkan ekonomi Indonesia cukup dengan beberapa sanksi dan embargo saja perekonomian nasional akan berhenti.

    Seperti saya katakana bahwa pada saat ini tidak ada negara yang mampu melawan keampuhan Senjata Nuklir Ekonomi (Jika diblokir dari keanggotaan SWIFT), Termasuk Tiongkok sekalipun. Namun yang dapat merubah adalah kemajuan teknologi itu sendiri.

    Crypto Currency (mata uang digital) yang berbasis teknologi “block chain” kemungkinan besar memiliki karakteristik pengganti hegemoni SWIFT. Teknologi “block chain” tidak memerlukan clearing house lagi dan Krypto currency dapat digunakan sebagai system pembayaran global dengan mudah.

    Dalam hal ini, Tiongkok menolak semua tipe mata uang Krypto tetapi melakukan pengembangan mata uang digital Renmimbi (mata uang nasional Tiongkok) dalam rangka mengantisipasi kedepan.

    Apakah dapat terlaksana atau tidak?. Sejarah mengatakan bahwa segala sesuatu dapat dilakukan dengan teknologi. Walahualam!

    Tulisan ini hanya mengingatkan kita, bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk kemajuan dan daya tahan ekonomi.

    Kita tidak akan menempuh jalan perang karena kita ingin hidup secara damai dengan bangsa bangsa lain. Yaitu hidup berdampingan secara berwibawa, disegani dan dihormati.
    (Bersambung)

    Penulis : Laksamana Sukardi

    Sumber : WartaTransparansi.com

    COPYRIGHT © 2022 WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan