Dalam (komunikasi) politik tiap hari adalah kampanye. Kampanye dilakukan tiada henti: baik di hari kerja maupun libur; baik terang-terangan maupun terselubung. Pada hari pemilihan (kepala desa, anggota legislatif, kepala daerah, presiden), hasil kampanye itu “dipanen”.
Siapa yang berhasil “menabung” citra positif sebagai pemimpin mumpuni dalam kampanye tiada henti, ia akan dipilih; yang “tabungannya kurang”, diabaikan. Inilah hukum alam yang sering dilupakan oleh para politisi. Alhasil, tidak terhitung hari-hari kampanye disia-siakan.
Menuju pemilihan presiden (Pilpres) 2024, sejumlah nama berancang-ancang maju. Artinya, semesti mereka berkampanye (terselubung) tiap hari.
Nama-nama yang terekam dalam berbagai survei politik sebagai calon presiden (capres) ialah: Agus H. Yudhoyono, Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Basuki T. Purnama, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmanyo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Tri Rismaharini.
Tentu merupakan mandat bagi pimpinan partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu, seperti Airlangga Hartarto dan Puan Maharani untuk maju sebagai capres atau calon wakil presiden (cawapres). Namun elektabilitas keduanya masih rendah: Airlangga (1%) dan Puan (2,9%); tertinggal jauh dari Ganjar (15,7%), Anies (14,6%), Prabowo (11%), dan Ridwan (10%). Demikian hasil survei lembaga penelitian Indikator Politik pada Mei silam.
Tim pencapresan—sebut saja demikian–Airlangga dan Puan memang sudah bergerak berupaya meningkatkan elektabilitas kedua tokoh itu. Dapat diduga tim pencapresan itu telah meminta masukan dari konsultan politik untuk merancang berbagai programnya.
Dari berbagai program mereka, yang tampak nyata ke hadapan publik adalah “membanjirnya” baliho Airlangga dan Puan di berbagai daerah, terutama di kota-kota dan pinggiran kota.
Tujuannya, tak lain untuk mengangkat pengenalan publik (popularitas) terhadap Airlangga dan Puan yang masih rendah. Rilis SMRC pada Maret 2021 menyebut hanya 26% publik mengenal Airlangga, sedangkan Puan sudah lumayan: 61%. Namun keduanya tertinggal jauh dari Prabowo (96%), Sandiaga (83%), dan Anies (81%).
Pada Juli 2021, Golkar secara resmi memerintahkan kader-kadernya memasang baliho Airlangga; sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak terang-terangan demikian.
Di sinilah kesalahan strategi kampanye terjadi alias capres tersebut “menggali kuburannya sendiri”. Pasalnya, “banjir” baliho itu tidak efektif (menghabiskan duit), kemungkinan besar malah kontra produktif (menghasilkan citra negatif).
Mengapa?
Karena baliho hanya efektif mengangkat popularitas, dengan syarat kondisi masyarakat sedang normal.
Padahal lebih dari setahun ini masyarakat Indonesia dan dunia jelas-jelas tidak normal lantaran pandemi Covid-19. Dalam sebulan terakhir, tingkat kasus positif dan kematian harian akibat Covid-19 di Indonesia, beberapakali mencapai angka tertinggi di dunia! Pasien rumah sakit (RS) di berbagai daerah membludak; RS tak mampu lagi menampung pasien.
Lagipula, tidak sedikit masyarakat yang anjlok drastis pendapatannya di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah dua periode dijalankan pemerintah.
Alih-alih menghasilkan citra positif, boleh jadi “banjir” baliho itu justru menjengkelkan masyarakat. “Ah apa pula gambar-gambar besar ini, kita lagi susah malah dikasih gambar,” kira-kira begitu komentar orang.
“Banjir” baliho Puan berefek negatif telah terjadi di Surabaya dan Blitar beberapahari lalu. Baliho Puan Maharani dicorat-coret, justru di “kandang banteng”. Memang belum jelas apa sebabnya. Yang jelas, gejala ini perlu dipikirkan sungguh-sungguh oleh tim pencapresannya.
Sebenarnya, bagaimana strategi kampanye capres yang pas? Mari kita bahas pada kolom berikutnya. Sabar ya Cak.***