Ironisnya lagi praktek pemalakan itu pernah dialami 4 kapal nelayan asal Probolinggo, Jawa Timur. Keempat kapal ikan setelah seminggu melaut dihadang di perairan Pelabuhan Ikan Mayangan, Kota Probolinggo. Nakhodanya dimintai sejumlah uang oleh oknum Kapal Patroli karena tidak bisa menunjukkan surat kesehatan ABK.
Keesokan harinya uang Rp 4 juta yang diminta sehari sebelumnya dikembalikan. Operasi gelapnya bocor ke petinggi di Instansi di Kawasan Ujung, Tanjung Perak Surabaya. Demikian pula dengan digantungnya ijin beroperasi kapal cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) rawan dijadikan ajang pungli.
Peristiwa serupa kerap dialami armada kapal rakyat di sejumlah wilayah ketika keluar atau masuk pelabuhan. Di Gresik misalnya, nakhoda kapal dengan trayek Gresik-Banjarmasin sedikitnya harus berbekal uang ekstra Rp 5-8 juta sekali jalan. Ditengarai terdapat 6-8 lokasi “cium pantat” atau pemalakan yang menjadi lokasi penghadangan. Kapal penghadang bisa bebagai jenis dari kelas patroli hingga speedboat. Besarnya uang yang diminta bervariasi antara Rp 100-500 ribu tergantung dari asal institusinya. Jika dokumen kapal ditemukan cacat atau kadaluarsa taripnya jutaan rupiah.
Pernah terjadi nakhoda kapal dengan muatan kosong dari Banjarmasin diminta setor Rp 3 juta, lokasinya sekitar 10 mil sebelum masuk Pelabuhan Gresik. Operasi ‘ramah lingkungan’ itu terbongkar setelah nakhoda menginfokan ke salah satu NGO. Dua hari kemudian uang dikembalikan atas perintah petinggi salah satu instansi Gakum Jawa Timur. Sebelumnya sebuah KLM dari Kota Waringin menuju Gresik mendapat perlakuan yang sama di muara Sampit, Kalimantan Tengah.
Kejadian serupa juga dialami kapal yang keluar Pelabuhan Kalimas, Surabaya tujuan Bima, NTB maupun Makassar. Pemilik kapal mengeluh, nakhodanya dimintai Rp 3-4 juta sekali jalan. Di pelabuhan Paotere, Makassar kapal rakyat keluar masuk pelabuhan, nakhoda rutin menyiapkan ‘upeti’ Rp 2-3 juta sedangkan untuk keluar masuk Pelabuhan Bima Rp 200-300 ribu.
Hal serupa berlangsung pula di perairan Kalimantan Selatan, sekitar Batu Licin, Banjarmasin yang merupakan pangkalan kapal rakyat dari berbagai daerah.
Pemalakan tampaknya bukan rahasia umum dan hampir semua pemangku kepentingan pelayaran menyesalkan hal tersebut.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sejak dibentuk belum mampu mengkondisikan kementrian di bawahnya untuk pencegahan dan penertiban pungli yang semakin marak terjadi.
Banyak lembaga terlibat penegakan peraturan pelayaran, seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Laut (Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea dan Cukai, Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) atau Port Security Authority hingga Administrator Pelabuhan (Adpel) akan tetapi bertindak sendiri sesuai dengan payung hukum institusinya.
Undang-Undang (UU) No 17/2008 tentang Pelayaran mengamanatkan pemerintah untuk membentuk Badan Penjagaan Laut dan Pantai (sea and coast guard), lembaga tunggal yang berwenang dalam kegiatan penegakan aturan di bidang pelayaran. Menurut catatan kurang lebih 9 instansi mempunyai kewenangan di laut.
Sebanyak 7 instansi diantaranya memiliki kapal patroli yaitu TNI-AL, Polair, KPLP (Kementerian Perhubungan), Bea Cukai (Kementerian Keuangan), Satgas 115 KKP dan Bakamla. Dengan banyaknya instansi yang mengurusi laut seharusnya pemangku kepentingan pelayaran merasa nyaman dan aman selama beraktivitas di laut. Bukan sebaliknya satu kapal bisa diberhentikan dan diperiksa di tengah laut lebih dari dua kali oleh Kapal Patroli dari instansi berbeda. (*)
* Penulis adalah Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan
* Pengurus DPD. Pelra Jawa Timur dan Bali