Pajak Laut ‘Cium Pantat’

Pajak Laut ‘Cium Pantat’
Oki Lukito

Oleh Oki Lukito

Istilah Cuci Pantat dan Cium Pantat sangat populer di dunia pelayaran khususnya bagi ABK yang mengawaki kapal dagang tradisional sejenis phinisi yang melegenda itu.

Cuci pantat dilakukan setiap tahun untuk membersihkan siput laut atau binatang laut lainnya yang menempel keras di lambung Kapal Motor (KM) atau Kapala Layar Motor (KLM) terutama di bagian yang selalu terendam air.

Istilah kerennya pelimbungan atau doking ringan sebagai salah satu persyaratan pula untuk mengantongi sertifikat keselamatan berlayar. Apa kaitannya dengan pungli?
Masalah pungli di kawasan pelabuhan kembali mencuat saat Presiden Joko Widodo menerima keluhan dari para sopir truk kontainer di Tanjung Priok, Jakarta beberapa waktu lalu.

Faktanya bukan hanya soal pemalakan sopir truk oleh preman, pungli diindikasi endemik dalam industri pelayaran. Korbannya bukan hanya kapal niaga nasional (INSA) tetapi merambah ke armada kapal rakyat tradisional (Pelra) yang melayani logistik antarpulau menjangkau pulau terdepan, terluar, tertinggal maupun menjamah pula kapal nelayan.

Sejujurnya praktek pungli bukan hanya di pelabuhan, akan tetapi di tengah lautpun pungutan tidak resmi itu marak dan akut.

Dampaknya berimbas pada tarif biaya logistik. Secara tidak langsung biaya operasional dibebankan pada tarif jasa yang ujung ujungnya dibayar konsumen. Perlu dicatat sebelum terbit Perpres No 87 Tahun 2016 tanggal 21 Oktober tentang Saber Pungli, kapal nelayan, armada pelayaran rakyat sering menjadi bulan bulanan oknum Penegak Hukum (Gakum) di Laut. Mulai dari pungutan Rp 50 ribu, ratusan ribu bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.

Ditengarai perbuatan rasuah itu juga merasuk di otoritas pelabuhan yang berurusan dengan penerbitan Surat Pemberitahuan Berlayar (SPB). Sebab pada kenyataannya tidak semua kapal terutama kapal rakyat dan kapal ikan mempunyai kelengkapan dokumen yang disyaratkan regulator. Misalnya dokumen radio, kesehatan dan kelaikan kapal, manifest ABK, buku pelaut nakhoda, juru mesin, kelasi serta kelengkapan keselamatan berlayar dijadikan modus. Celah lainnya adalah penerbitan surat dispensasi barang muatan Dek Kapal (on deck) yang prakteknya tawar menawar.

Persoalan lain yang menghantui sekitar 800 kapal Pelra dan rentan dipungli adalah aturan ketentuan titik serah solar bersubsidi yang tidak diberikan di lokasi asal kapal. Contohnya, kapal ada di Pelabuhan Gresik tetapi titik serah solarnya berada di Semarang sesuai aturan BPH. Migas.

Padahal kapal tersebut tidak memiliki trayek ke Semarang. Untuk menuju Semarang perlu biaya tambahan membeli solar non subsidi, harganya lebih mahal Rp 3-5 ribu per liter. Sementara SPBB sebagai penyalur solar subsidi rentan dikenakan sanksi jika melanggar. Hal itu tak pelak dijadikan incaran oknum.

Buku pelaut menjadi sasaran empuk oknum aparat. Pasalnya salah satu buku pelaut untuk Juru Mesin Pelayaran Rakyat (JMPR) dan Mualim Pelayaran Rakyat (MPR) yang berwarna merah tidak berlaku di sejumlah daerah antaralain di Makassar.

Sedangkan yang di Pulau Jawa buku pelaut hanya bisa diurus di Semarang, Buku pelaut Basic Safety Training (BST) warna hijau yang diterbitkan Kementerian Perhubungan untuk ABK KLM/KM banyak yang tidak memenuhi ketentuan menyangkut ijazah kelulusan dan pengurusannya via online tidak bisa diakses lagi.