banner 728x90

Di Tengah Covid, Pesantren Menjaga Budaya Belajar (bagian 1)

Di Tengah Covid, Pesantren Menjaga Budaya Belajar (bagian 1)
Anwar Hudijono

Oleh Anwar Hudijono (Penulis tinggal di Sidoarjo)

Belum lama ini saya ngobrol dengan seorang pakar pendidikan. Dia adalah guru besar. Sangat mumpuni teori. Juga sudah terbukti menjadi penyelenggara pendidikan yang hebat. Saya tidak bisa sebut namanya karena memang diskusinya bersifat informal.

Dan saya juga harus menjaga ketenangannya. Karena saat ini tidak mudah menjadi orang yang bersikap benar. Berkata benar. Bertindak benar. Orang yang menyampaikan kebenaran justru akan dibuli, dicaci maki, dianggap bodoh, dibilang ngawur, asal njeplak, diposisikan yang salah.

Yang menuduh demikian yang sebenarnya justru bodoh, ngawur, asal mengo. Ini jaman sawo dipangan uler, wong bodo ngaku pinter. (Nah, jangan-jangan saya termasuk sawo dipangan uler, bahkan sawo bosok maneh). Jaman kewalik.

Saripatinya, dia melihat di tengah pandemi Covid-19 ini, pondok pesantren, sekolah Islam berasrama atau Islamic Boarding School (IBS), dan lembaga-lembaga pendidikan yang tetap melakukan proses belajar secara tatap muka sangat berhak disebut sebagai pejuang penjaga budaya belajar. Orang-orang yang berjuang untuk menyelamatkan budaya belajar.

Dampak negatif Covid-19 memang luar biasa. Salah satunya adalah terancamnya budaya belajar. Para pemangku kepentingan pendidikan mulai pelajar, guru, penyelenggara dan sebagainya kemungkinan bisa kehilangan gairah dan arah pendidikan.

Mulanya takut terinfeksi Covid-19. Terus bingung mau bagaimana. Terus bersikap biasa: ya sudah mau apa toh masih ada Covid. Dan akhirnya normal tanpa kegiatan belajar membelajarkan. Atau belajar tapi sekadar memenuhi syarat wajib. Sekadar topeng kalau proses belajar membelajarkan masih ada.

Lama-lama malah menjadi enjoy. Menikmati. Para pelajar enak karena tidak repot-repot bangun pagi, berangkat sekolah. Orang tua juga tidak repot menyediakan sangu, atau antar-jemput anaknya. Para guru juga enjoy karena tidak repot menyiapkan model satuan belajar (MSP). Tidak pusing menghadapi murid yang bermacam-macam tingkahnya. Tidak repot harus di sekolah sekian jam sehingga bisa lebih mengurus anak. Penyelenggara sekolah juga enjoy karena ada dana yang bisa dihemat.

Kegiatan proses belajar tatap muka nyaris lumpuh. Jika toh dicoba dipaksakan, ada suasana kebatinan yang mengganjal seperti ketakutan ada yang OTG (orang tanpa gejala). Jika ada yang sekadar batuk meski cuma karena tersedak, atau sambat agak pusing, langsung dicurigai kena Covid-19. Lantas wajib swab antigen. Jika masih negatif harus PCR. Berapa duit harus keluar?

Dalam suasana psikologis berbau paranoid demikian, tidak mendukung sama sekali proses pembelajaran bisa efektif. Para guru sangat mafhum, proses belajar harus berlangsung dalam suasana bahagia. Gembira. Semangat. Saling percaya.