Pembodohan
Dalam sistem belajar virtual nyaris tidak dimungkinkan mencakup afektif (sikap), psikomotoris (ketrampilan). Hanya mencakup kognitif (pengetahuan). Tapi itupun sama sekali tidak efektif. Seorang kepala SMA di Sidoarjo dalam suatu wisuda mengakui dengan jujur, proses belajar secara virtual ini tidak efektif.
Banyak aspek teknis yang membuat sistem virtual tidak efektif. Tidak sedikit murid yang tidak punya laptop. Kalau punya pun belum tentu bisa untuk zoom. Kendala internet lemot. Kendala listrik mati. Waktu belajar yang sangat pendek.
Akhirnya apa? Pelajar malah larut dalam konten-konten kepalsuan medsos. Bantuan pulsa bukan untuk belajar, tapi untuk tiktokan, medsosan, ngegame.
Kendala-kendala teknis ini lantas ditolerir dengan tetap memberi nilai rapor minimal sesuai standar KKM. Murid tetap diluluskan. Intinya, proses penilaian tidak memenuhi asas validitas, jujur dan obyektif. Belum lagi nilai asal-asalan bahkan abal-abalan yang menyangkut sikap dan ketrampilan.
Lantas apa yang terjadi? Lembaga pendidikan berpotensi bisa menjadi pusat persemaian kebohongan.
Apa lagi? Lembaga pendidikan berpotensi jadi pengembang-biakan kebodohan. Ini ironis.
Lantas apa lagi? Lembaga pendidikan berpotensi jadi lahan subur kemalasan.
Astaghfirullahal adhim.
Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu). (*)