Cerita Pendek Karya Wina Armada Sukardi
KEJADIANNYA sangat cepat. Belum sempat saya sepenuhnya mematut-matut diri, tiba-tiba bola sudah masuk ke gawang. Menggetarkan jala gawang. Gol! Saya hanya dapat terpaku tanpa sempat berbuat apa pun di garis gawang menyaksikan bola menembus gawang.
Inilah pertandingan penentuan akhir group antara kesebelasan Indonesia melawan kesebelasan sebuah negara kawasan Timur Tengah. Kedua negara harus melakukan _play off_ untuk menentukan kesebelasan mana yang menjadi salah satu negara peserta cabang sepak bola di Olimpiade. Hanya pemenang pertandingan inilah yang berhak masuk Olimpiade. Tak heran, kedua kesebelasan tampil berhati-hati tetapi sekaligus agresif.
Tadi pertandingan penentuan sudah berlangsung. Indonesia sempat unggul lebih dahulu 1 – 0, lewat sebuah gol cepat. Setelah itu, lawan bukan hanya mampu menyamakan kedudukan, tapi mampu mengungguli Indonesia 2 – 1. Pada kedudukan ini pun kesebelasan Indonesia masih diserang terus. Ada tiga kali gawang Indonesia nyaris kebobolan, tapi beruntung kiper Indonesia tampil gemilang. Dari tiga peluang itu, sekali bola dapat ditangkapnya dan dua kali ditepisnya.
Pada tepisan kedua, sepakan bola dari tengah lapangan berbelok mengarah ke pojok kanan atas gawang. Mata para pemain kedua kesebelasan dan penonton mengikuti laju bola. Secara akal sehat, bola itu pasti masuk.
Derasnya kecepatan bola, ditambah persisi sudut datangnya bola, pastilah menghasilkan gol. Tepat ketika semua percaya akan lahir sebuah gol untuk lawan, kiper Indonesia dengan gerakan akrobatik, terbang ke sisi itu dan tangannya dapat menjangkau tipis bola, sehingga bola pada detik terakhir melewati beberapa sentimeter atas mistar. Gawang Indobesia pun selamat. Tidak kebobolan.
Hanya saja, aksi heroik kiper ini berakibat fatal. Setelah berhasil mentip bola, kiper jatuh dengan posisi yang tidak terkendali. Punggung dan bahunya sakit. Sesudah diperiksa sekitar lima menit, kedua bagian tubuhnya itu masih cidera. Dia sulit bermain lagi.
Pelatih kami segera menunjuk diri saya untuk melakukan pemanasan, dan siap masuk ke lapangan menganti kiper kami yang hebat. Setelah kiper ditandu keluar, masuklah saya sebagai kiper cadangan.
Tak malu saya akui, dari segi teknik, relfleks dan pengambilan posisi, kiper itu jauh lebih baik ketimbang diri saya. Dia pantas mendapat kehormatan sebagai kiper utama. Makanya saya pun rela jadi ban serep kiper.
Kini saat keadaan darurat, tanpa persiapan dan tanpa diduga, saya harus siap masuk lapangan dan menjadi kiper utama. Tak tanggung-tanggung, saya harus masuk dalam pertandingan yang sangat penting dan menentukan. Sebuah tugas yang bagi saya sendiri pun sangat berat.
Jika lantas sebagian pendukung Indonesia semula menganggap kiper utama Indonesia sebelumnya sebagai salah satu pilar kukuh yang dapat diandalkan, setelah diganti oleh saya justru berbalik menilai saya menjadi salah satu titik kelemahan kesebelasan, saya terima. Saya legowo.
Posisi saya semacam itu, rupanya mendorong tambahan semangat buat para pemain Indonesia lainnya. Menyadari saya bisa saja menjadi sumber kelemahan, para pemain lain langsung berupaya agar lawan tak punya ruang untuk melakukan penetrasi atau tembakan langsung ke arah saya.
Kawan-kawan tak sudi lawan dapat memperbesar selisih keunggulan. Upaya para pemain untuk “melindungi” saya berhasil dengan baik. Sejak saya masuk, hampir tidak ada serangan lawan yang berhasil masuk dalam kotak penalti pertahanan kami. Hanya dua tiga serangan yang sampai ke saya, itu pun tidak dalam tingkat membahayakan. Dalam situasi seperti ini, lawan tampaknya semakin bernafsu menyerang. Bermain offensif. Walhasil, ada ruang terbuka di pertahanan mereka.
Itulah sebabnya kami beberapa kali berhasil melakukan serangan balik kilat yang membahayakan kesebelasan lawan. Dan dalam suatu seragan balik, hanya dengan tiga kali sentuhan, kami berhasil menjebloskan bola ke gawang lawan. Kedudukan menjadi 2 – 2.
Kesebelasan lawan yang terkejut dengan balasan gol dari kami, langsung melakukan seragan total. Seluruh pemain mereka naik ke atas melewati garis tengah, sedangkan pemain Indonesia sebaliknya terpaksa bertahan total. Sampai peluit babak kedua dibunyikan kedudukan tak berubah 2 – 2.
Pertandingan diperpanjang 2 X 15 menit.
Lawan masih terus menyerang Indonesia yang sudah menerapkan pola bertahan. Kendati begit, tetap tak ada pemenang juga. Skor masih kacamata. Pertandingan harus dilanjutkan dengan adu pinalti. Tahap kesatu , masing-masing kesebrlasan memperoleh lima kali tendangan pinalti. Dari undian lewat koin, lawan memperoleh kesempatan pertama lebih dahulu.
Nah, gol yang meleset masuk ke gawang tanpa saya sempat berbuat apa pun, adalah tendangan pinalti pertama mereka. Eksekusi rupanya dilakukan memanfaatkan ketidaksiapan teknis dan mental kami. Saya belum siap sepenuhnya, bola sudah masuk ke ke gawang. Skor adu pinalti 0 – 1.
Celakanhya, penendang pertama kami, tembakannya gagal. Bola sebenarnya sudah mengarah ke kanan, sementara kiper bergerak kiri, tapi bola meleceng di sebelah kanan tiang gawang. Tendangan yang gagal. Kedudukan dari adu pinalti tetap 1 – O untuk lawan.
Kini masing-masing pihak punya empat kesempatan lagi.
Pada tendangan pinalti lawan kedua, kembali bola masuk ke gawang yang saya kawal. Kali ini saya ke kanan, tapi bola dilesatkan ke kiri. Gol! 0-2.
Eksekutor pinalti keddua dari Indonesia, melaksankan tugasnya dengan baik. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya, karena saya tak berani melihat. Posisi 1 – 2 untuk lawan.
Tersisa 3 tendangan lagi.
Adu pinalti untuk menentukan sebuah kemenangan, banyak juga yang sering menyebut “tos-tosan,” mungkin telah relatif sering terjadi dan disaksikan publik, namun tak banyak yang dapat menghayati betapa para pelaku tendangan pinalti memiliki beban teramat berat. Kaki seperti terikat puluhan kilo rantai besi. Amat berat. Jangankan untuk bergerak mengatur irama dan bergerak sesuai kata hati, untuk berjalan saja sudah luar biasa berat. Hanya dengan tekad dan perjuangan besar saja, kaki dapat sedikit kami kendalikan. Khusus bagi kiper seperti saya, bukan hanya kaki yang terasa terbelengu, tangan juga menjadi kaku serasa diikat.
Saya melihat sekeliling stadion. Seluruh menonton menatap ke arah saya. Gabungan pancaran mata mereka seakan membakar diri saya. Mereka menaruh asa dan sekaligus secara tidak langsung menuntut tanggung jawab kepada saya: kiper cadangan.
Ini giliran ketiga lawan menendang dan saya jadi kipernya. Saya gerakan kaki untuk berjalan ke arah gawang. Bukan main berat niat. Jika begini, kemana pun bola di arahkan lawan, pastilah masuk. Pasti gol. Tak peduli bolanya cuma melaju perlahan sekalipun. Dengan kaki terasa terbenam dalam bumi, saya tak mungkin dapat bergerak.
Dalam ukuran detik, tetiba hati saya berontak. Ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada usaha mencari jalan keluar. Harus. Harus. Dan Harus. Setidaknya dalam bentuk sebuah usaha. Ikhtiar.
Saat itu saya mendadak baru menyadari kembali, seperti rejeki yang datang pada waktu yang tldak disangka-sangka, dari arah tidak terduga-duga, demikian juga kesempatan. Selama ini saya cuma kiper cadangan. Kiper nomor dua. Selama kiper utama dapat tampil, selama itu pula saya hanya menjadi penghangat bangku cadangan. Tak mungiin dapat tampil menunjukkan kebolehan. Kalau pun dimainkan, paling hanya basa-basi dari pelatih, main sekitar 10 menitan terakhir, itu pun melawan kesebelasan yang lebih lemah karena untuk memastikan tidak ada serangan yang membahayakan. Tak ada celah kesempatan buat kiper seperti saya.
Kini di pertandingan yang maha penting tanpa direncanakan lebih dahulu, saya diberikan kesempatan main. Langsung berperan sebagai figur kunci. Tanpa disangka saya mendapat peluang emas menunjukkan diri sebagai kiper yang dapat dihandalkan dan bukan sebagai penghias daftar nama kiper cadangan. Sering tanpa niatan, kesempatan muncul
dalam kesempitan. Dan saat inilah kesempatan diberikan kepada saya. Panggung milik saya sepenuhnya. Saya sendirilah yang menentukan gagal atau berhasil. Saya sendirilah yang diberikan kesempatan untuk memilih cap sebagai pecundang atau sebagai pendekar penyelamat.