Keputusan Britania Raya keluar dari Uni Eropa (UE), biasa disingkat Brexit (lakuran “Britain” dan “exit”), adalah penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa sebagai hasil dari referendum Brexit yang diadakan pada Kamis 23 Juni 2016, referendum Brexit ini diadakan untuk memutuskan apakah Britania Raya harus meninggalkan keanggotaannya atau tetap tergabung dalam Uni Eropa.
Referendum ini diikuti oleh 30 juta pemilih, yang berarti partisipasi total didalamnya mencapai 71,8% dari penduduk yang memiliki hak pilih di Britania Raya, hasilnya sendiri adalah 51,9% memilih untuk keluar dari Uni Eropa dan 48,1% memilih untuk tetap tergabung dengan Uni Eropa.
Britania Raya menarik diri dari Uni Eropa pada pukul 11 malam GMT pada tanggal 31 Januari 2020, memulai periode transisi yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2020. Selama periode transisi 11 bulan, Britania Raya dan Uni Eropa akan menegosiasikan hubungan masa depan mereka.
Britania Raya tetap tunduk pada Hukum Uni Eropa dan tetap menjadi bagian dari Uni Pabean Uni Eropa dan Pasar Tunggal Eropa selama periode transisi, tetapi tidak lagi terwakili dalam badan atau lembaga politik Uni Eropa.
Sebagai salah satu tahapan untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa, Britania Raya diharuskan untuk meminta digunakannya Artikel 50 dari Perjanjian tentang Uni Eropa kepada Dewan Eropa, dan pada 29 Maret 2017, pemerintah Britania Raya resmi menggunakan Artikel 50 dan mengajukan penarikan diri kepada Dewan Uni Eropa.
Sesuai dengan aturan yang tertulis dalam Artikel 50 mengenai waktu tenggang yang diberikan untuk negara yang berencana keluar dari Uni Eropa, Britania Raya diberikan waktu hingga tepat pada tengah malam tanggal 30 Maret 2019, Waktu Eropa Tengah, untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa.
Pada 17 Januari 2017, Perdana Menteri Theresa May mengumumkan 12 pokok rencananya untuk meninggalkan Uni Eropa, May juga sekaligus memastikan bahwa nantinya Britania Raya tidak akan lagi tergabung dalam Pasar Tunggal dan Serikat Pabean Uni Eropa.
Bersamaan dengan itu, May juga berjanji untuk mencabut Undang-Undang Masyarakat Eropa tahun 1972, dan menggabungkan semua hukum dan aturan Uni Eropa yang masih berlaku kedalam hukum dan aturan Britania Raya. May membentuk kementerian sendiri untuk mengatur mundurnya Britania Raya dari Uni Eropa, kementerian ini diberi nama Departemen untuk Keluar dari Uni Eropa (Department for Exiting European Union – DExEU) dan diresmikan pada Juli 2016, May juga menunjuk David Davis sebagai Sekretaris Negara memimpin departemen tersebut.
Menilik dari sejarahnya, Britania Raya sendiri mulai bergabung dalam Komunitas Eropa pada tahun 1973, meski begitu terdapat dorongan untuk melakukan referendum dari banyak pihak yang tidak setuju apabila Britania Raya bergabung dalam Komunitas Eropa, sehingga pada tahun 1975 diadakan referendum 1975, tetapi hasil dari referendum tersebut justru memenangkan pihak yang setuju untuk bergabung, sehingga semakin melegitimasi kebijakan Britania Raya untuk tetap tergabung dalam Komunitas Eropa.
Di era 1970-an dan 1980-an, wacana untuk mengundurkan diri dari Komunitas Eropa utamanya banyak digalang oleh anggota dan tokoh-tokoh dari Partai Buruh dan Serikat Buruh. Mulai era 1990-an, pendukung kuat dari wacana ini adalah Partai Kemerdekaan Britania Raya (UKIP) dan anggota-anggota dari Partai Konservatif yang memiliki pandangan “Eurosceptic”.
Untuk efek Brexit ini sendiri dalam jangka pendek, terdapat penelitian yang berfokus pada pengaruh kebijakan Brexit sejak diadakannya referendum hingga Juli 2017, penelitian ini mengungkapkan bahwa Britania Raya mengalami kerugian tahunan sebesar £404 untuk tiap rumah tangga rata-rata, kemudian menurunnya nilai mata uang pound sterling dimana nilai pound sterling masih 10% dibawah nilai sebelum referendum, lalu meningkatnya inflasi hingga 1,7%.
Banyak pakar riset ekonomi dunia yang beranggapan bahwa keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa ini akan memiliki efek terhadap perekonomian Britania Raya, mereka memprediksi bahwa langkah Britania Raya ini akan mengurangi pendapatan riil per-kapita Britania Raya dalam jangka menengah dan panjang.
Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa juga diprediksi akan menurunkan jumlah pendatang dari negara-negara Area Ekonomi Eropa ke Britania Raya, dan hal ini dapat berimplikasi kepada pendidikan tinggi dan riset akademis di Britania Raya. Dampak persis keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa sendiri masih harus melihat apakah keluaran ini terjadi dengan cara keras (Hard Brexit) yang berarti tidak terjadi kesepakatan sama sekali antara Britania Raya dan Uni Eropa, atau cara lunak (Soft Brexit) dimana masih terdapat hak-hak yang dapat dinikmati oleh Britania Raya meskipun telah keluar dari Uni Eropa.
Perang
Perang Suriah sudah menewaskan hampir 400 ribu jiwa. Observatorium Suriah untuk HAM mengatakan pada Sabtu (14/03/2020) setidaknya sebanyak 384 ribu orang telah tewas dalam perang Suriah. Termasuk lebih dari 116 ribu warga sipil, sejak perang dimulai pada Maret 2011 silam.
Konflik Suriah mulanya dipicu oleh represi mematikan dari protes damai pro-demokrasi. Konflik pun menarik kekuatan luar untuk berperang secara kompleks dan melibatkan faksi pemberontak, kelompok militan dan kepentingan asing.
Setelah perang memasuki tahun kesepuluh di tahun 2020 ini, pemerintah Presiden Bashar al-Assad telah mengendalikan lebih dari 70 persen wilayah Suriah berkat dukungan militer sekutunya, Rusia, Iran dan kelompok militan Libanon, Hizbullah.
Konflik Suriah ini menurut Ketua HAM PBB pada 2017 adalah bencana buatan manusia paling buruk sejak Perang Dunia II.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan pada Jumat (20/11/2020) bahwa negara itu dalam krisis kelaparan terburuk yang pernah terjadi di dunia dalam beberapa dekade.
“Jika tidak ada tindakan segera, jutaan nyawa mungkin hilang,” kata Guterres dikutip AFP, tentang negara yang telah mengalami perang lima tahun antara pemberontak Houthi yang didukung Iran dan pasukan pemerintah.
Pemerintah di Yaman didukung oleh koalisi pimpinan Arab Saudi, dibantu oleh kekuatan Barat termasuk Amerika Serikat (AS).
Seorang pejabat hak asasi manusia PBB telah meminta komunitas internasional untuk segera mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Korea Utara di tengah krisis yang terjadi.
Sebab, sanksi PBB mungkin memperburuk masalah dari lockdown virus corona, menurut draf laporan yang dirilis pada Kamis (15/10/2020).
Korea Utara telah dikenai sanksi PBB sejak 2006 atas program rudal nuklir dan balistiknya, yang mana semakin ketat diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Survei terbaru Yayasan Bertelsmann menunjukkan bahwa dukungan terhadap populisme politik di Jerman turun tajam dibandingkan dua tahun lalu. Partai-partai populis kanan seperti AfD mulai ditinggalkan publik.
Setelah mencapai puncaknya tahun 2018, publik Jerman mulai meninggalkan populisme politik, menurut survei terbaru Bertelsmann Stiftung yang dirilis Kamis (03/09/2020) di Berlin.
“Tren menuju iklim politik yang semakin populis di Jerman telah berbalik,” kata Robert Vehrkamp, salah satu penyusun penelitian itu, dalam sebuah pernyataan.
Para peneliti mengatakan, tahun 2018 sekitar 33 persen pemilih di Jerman mendukung “pola pikir populis”. Angka itu menurut penelitian terbaru turun tajam menjadi sekitar 20 persen.
Bertelsmann Stiftung bekerjasama dengan YouGov Jerman mengembangkan survei “Barometer Populisme” untuk mengukur dukungan publik terhadap isu-isu populis. Untuk studi terakhir, sekitar 10.000 pemilih diwawancara pada bulan Juni mengenai pandangan mereka tentang populisme politik dengan delapan pernyataan populis tentang fungsi negara dan masyarakat.
Jepang dipusingkan dengan penundaan Olimpiade dan masih memungkinkan tertunda lagi. Di sisi lain, pejabat pemerintah mengatakan, “Jika Olimpiade tidak dapat diselenggarakan, lebih baik untuk mundur dari kabinet.”
Tidak sedikit yang percaya, tanpa Olimpiade, pemerintah tidak akan memiliki tujuan di masa depan. Akan terlalu kejam untuk melanjutkan dalam situasi itu.
Apa yang akan dilakukan pemerintahan Shinzo Abe saat ini, akan semakin jelas pada akhir tahun ini dan maksimal Maret 2021 karena di situlah keputusan penyelenggaraan Olimpiade dilakukan pemerintah Jepang.
Dunia dalam masa pandemi Covid-19, begitu rentan dalam berbagai aktifitas berbangsa dan bernegara. Liga Inggris terancam berhenti gara-gara virus Corona dan mutasi Covid-19 makin tidak terkendali. Perang lawan Corona, perang membela negara, perang dalam perdagangan dunia, perang merebut potensi alam dunia, perang dan perang terus diteriakkan. (Djoko Tetuko/berbagai sumber)