Opini  

Antara Covid-19 dan Dajjal (3)

Antara Covid-19 dan Dajjal (3)

Oleh Anwar Hudijono

WHO teriak kalap. Pandemi hoaks telah memperkeruh dan memperuwet pandemi Covid-19 di tingkat global. Bahaya pandemi hoaks ini tidak lebih ringan dari bahaya virus itu sendiri. “Semakin mempersulit penanganan pandemi virus itu,” kata pejabat WHO.

Pandemi hoaks itu seperti satu paket dengan virus Covid-19. Disimbolkan penggunaan masker selama pandemi. Masker itu dari kata mask yang berarti kedok. Topeng. Topeng itu bukan wajah asli. Menyembunyikan wajah aslinya. Bisa juga berarti bohong. Dusta. Maskerisasi global menjadi simbol jaman kebohongan. Jaman post truth.

Apa yang disampaikan WHO itu sealur dengan apa yang diperingatkan Al Quran lebih 1.400 tahun yang lalu. Tepatnya di Surah Al Hujurat ayat 6. Ditegaskan bahwa berita yang dibawa orang fasik (pendosa besar) itu harus diteliti. Jangan ditelan begitu saja layaknya menelan cendol dawet.

Sangat mungkin berita yang dibawa orang fasik itu hoaks, misinformasi, malinformasi bahkan disinformasi. Info palsu. Soalnya orang fasik itu tidak takut dosa sehingga enteng saja menyebar hoaks. Melakukan disinformasi itu sudah seperti nasi sayur saja. Nah, para buzzer itu boleh dibilang termasuk golongan fasik ini. Menyebar info bohong, memaki-maki, memanas-manasi, untuk meraup bayaran.

Orang yang tidak meneliti informasi dari pihak fasik termasuk orang bodoh. Apalagi langsung baper. Langsung share. Bahkan nge-share-nya ditambahi komen-komen meyakinkan. Kayak tahu-tahu saja. Akibatnya bisa mencelakakan suatu bangsa, komunitas, masyarakat.

Apa yang disampaikan Quran ini sudah ada bukti nyata. Operasi Arab Springs yang dilancarkan oleh Amerika dan Israel dengan menyebar hoaks, agitasi-propaganda, di media sosial khususnya, telah terbukti mampu menghancurkan beberapa negara Arab seperti Syuriah, Libia, Tunisia, Irak.

Dan Amerika kini mulai ngunduh wohing pakerti (memetik perbuatan sendiri). Operasi model Arab Springs kini justru berbalik melanda Amerika. Terjadi polarisasi tajam di antara penduduknya. Sentimen perpecahan semakin merebak.

“Amerika sedang dalam proses kehancuran oleh media sosial,” ujar seorang petinggi inteljen Rusia dalam film Red Sparrow.

Ranah publik virtual AS dipenuhi dengan virus yang bisa mematikan negara. “Rasisme, intoleransi, diskriminasi kini menggerogoti Amerika dari dalam,” kata seorang tokoh utama dalam film American History X.

Melihat fakta yang mengerikan kehidupan di Amerika, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya yang termasyhur, “How Democracies Die” sampai bertanya, “Apakah kita sedang hidup pada masa kemerosotan dan kehancuran suatu demokrasi tertua dan tersukses di dunia?”

INFODEMIK

Paus Fransiskus sangat prihatin dengan fake news (berita palsu) yang merebak di antara merebaknya virus Covid-19. Fake news seolah tidak bisa lepas dari Covid-19 seperti bau kecut pada keringat.

Substansi hoaks dan fake news itu sebenarnya sama. Sama-sama bohong. Sama-sama palsu. Hanya tempatnya saja yang umumnya berbeda. Hoaks itu biasanya di media sosial dan tutur getok tular, sedang fake news itu berada di media mainstream. Ibarat penyakit kulitlah. Jika di kepala namanya koreng kalau di sekitar bibir namanya patek.

Masih ditambah munculnya deepfake. Kebohongan jenis ini termasuk varian baru. Contohnya begini. Ada video Presiden AS Obama bicara. Tapi sebenarnya itu suara orang lain. Tapi dengan rekayasa canggih seolah itu benar-benar ucapan Obama. Vokal maupun gerak bibirnya sama dengan Obama. Nah, orang awam sulit mengetahui jika itu sebenarnya video palsu.

Baru-baru ini muncul varian kebohongan baru. Yaitu infodemik. Dosen senior Universitas Melbourne Australia Dr Greg Nyilasy bilang, pademi Covid-19 telah menciptakan fenomena batu yang dikenal dengan instilah infodemik. Misinformasi yang biasanya muncul dari hal-hal non-ilmiah, kini justru berkembang pesat di tengah pandemi yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan.

Asbabul muncul (sebab muncul) “virus” infodemik itu kan begini. Covid-19 itu virus jenis baru. Para ahli, termasuk epidemiolog, ahli patologi, ahli mikrobiologi dan lain-lain aslinya belum begitu paham. Mereka dituntut harus berkomentar. Memberi penjelasan. Sungkan kalau disebut ahli tapi diam saja. Akhirnya memberi pernyataan, penjelasan yang sebenarnya belum memiliki kekuatan ilmiah.

Bukan hanya para ahli. Para pemimpin pun sungkan jika tidak memberi penjelasan. Apalagi pemimpin yang keranjingan ngetwit. Jika sejam tidak ngeteit jari-jarinya seperti jimpe (mengerut). Akhirnya yang penting ngomong biar tidak disebut kurang update. Infodemik ini menambah karut-marut pandemi Covid-19.