Goresan Pena Meutya, Percik Api Kecintaan Ibu Pertiwi dan Ibu Ismail (bag 4)

Goresan Pena Meutya, Percik Api Kecintaan Ibu Pertiwi dan Ibu Ismail (bag 4)
Meutya Hafid, Ketua Komisi 1 DPR RI

Membaca “Bicaralah yang Baik-Baik”, ada kekagumannya kepada kemajemukan di Nusantara yang menurutnya sebagai sebuah harta dan kekayaan yang perlu untuk dijaga dan dilindungi, serta memberitahukan kepada para pembacanya akan aspirasinya terhadap Indonesia yang lebih baik, yang bebas korupsi, yang harmonis dan toleran, serta berbudi-luhur dan berkeprimanusiaan.

Oleh karena itu, Meutya sangat mengapresiasi terbitnya buku kumpulan puisi M. Rohanudin, yang telah mampu untuk menjadi Oase bagi mereka yang “haus” akan karya seni puisi di era yang modern dimana karya puisi menjadi semakin langka.

Meutya, sekali lagi mengalirkan nafas reportase dan goresan pena jurnalis, membekas tuntas melihat sebuah karya penuh kritik konstruktif dalam syair cinta Ibu Pertiwi

Seperti bagian akhir bait “Saraswati” ….
….
Saraswati, aku tak punya sayap untuk terbang mengejarmu
tapi senyummu menebar wangi madu
nusantara teduh walau jauh di awan lepas
kau payungi kami dengan bayangan rerimbun dedaunan
tak ada hati yang kosong
tak ada jarak yang terbentang walau kita jauh
itulah Indonesia yang sebenarnya
Indonesia yang tanpa darah dan air mata
Indonesia yang mengibarkan merah putih di dadanya
Indonesia yang beribu bernama pertiwi.

Dan ketika sang Srikandi Meutya, membatik kembali kain selendang panjang, puisi M. Rohanuddin
telah mampu untuk menjadi Oase bagi mereka yang “haus”

Sang Penyair Penyiar
Penyejuk Penyeimbang suara nusantara dari balik sekat-sekat studio dari Jakarta sampai seluruh pelosok negeri … berteriak lantang mendekam merangkul jejakan Nabi Ismail … dan doa lari-lari kecil ibu Siti Hajar, dengan goresan pena dan suara santun

OASE ZAM-ZAM
di dekat Kiblat,
ada aroma rasa telaga
Shafa dan Marwah
Makkah belum dihuni manusia, gulita malam,
angin kencang, dahaga, panas berterik
perjuangan anak manusia
Ismail, dan gua pertapaanya Siti Hajar masih menyusui dua hati lambang kepatuhan, keikhlasan dan air mata demi Allah kami bersumpah
demi Ibrahim kami melawan
haus, lari-lari kecil,
jiwa, di padang pasir seram tanpa manusia, tanpa suara, raga kelaparan seperti musafir
tiba-tiba gemuruh berkali-kali menggetar
degub jantung Ismali-Siti Hajar meledak
dipadang pasir yg tandus
di Shafa-Marwah garis dan titik suara Allah
inilah mukjizat, air memancur,
memancarkan peradaban kehidupan baru, imaji baru menghirup udara segar,
adalah OASE ZAM-ZAM
air mukjizat diatas telaga telaga bagi yg meneguknya adalah surga Allah

Dan percikan api kecintaan itu juga mengalir deras seperti air mancur bahkan memandang lebih dekat seperti air terjun … antara ibu pertiwi dan ibu Islam, antara tanah air dan tanah haram, antara hati untuk negeri dan hati selalu berjanji, selalu baiat menghadap rumah surga berhias percikan oase Zam Zam. (Djoko Tetuko)