Kontroversi New Normal dan Kebadutannya

Kontroversi New Normal dan Kebadutannya
Anwar Hudijono

ROLLER COASTER BERHANTU

Muaranya terkesan, penanganan pandemic Covid-19 semakin lama semakin ruwet. Semakin membingungkan. Semakin seru dan heboh. Semakin membuat miris. Tapi juga terlalu banyak drama, entah horor, tragedi, action maupun komedi.

Seolah masyarakat diajak naik roller coaster berhantu. Memang bergerak tapi cuma muter-muter. Dibayangi hantu-hantu yang hendak menggelundungkan penumpang roller coaster.

Kesan itu didasarkan pada jumlah positif Covid-19 cenderung naik. Jumlah yang sembuh dengan jumlah penderita baru tidak seimbang. Semakin ngeri karena jumlah dokter dan tenaga medis yang terpapar semakin banyak. Bayangkan jika tenaga medis nanti sudah tidak sanggup lagi. Minimal tidak bisa menangani secara full.

Ditambah perdebatan silang sengkarut di kalangan elite. Buzzer yang kian merajalela. Kegaduhan yang kian riuh layaknya kandang burung parkit yang ditambahi sekawanan betet, pendet, kutilang dan rangkok.

Sampai-sampai ada tuduhan memang masyarakat ini dibiarkan masuk herd immunity. Inti herd immunity itu, setiap orang dibiarkan memperkuat daya tahan tubuhya. Jika kuat lanjut hidup, jika tidak kuat ke liang kubur. Ngeri kan.
NYAWA RAKYAT

Untuk itu, setelah hampir 4 bulan virus asal Cina ini mewabah, sudah saatnya dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan jujur.

Salah satu yang layak dipertimbangkan adalah kembali kepada aturan perundangan yang sudah ada. Kesampingkan pendapat bahwa aturan perundangan itu produk rejim lama. Ini menyangkut nyawa rakyat Indonesia. Tumpah darah Indonesia.

Dalam menetapkan status dan tingkat bencana, kita gunakan saja siaga darurat, tanggap darurat dan darurat pemulihan sesuai UU no 24 tahun 2007 tentang kebencanaan. Kalau misalnya perlu improvisasi, kita gunakan standar status dan tingkat bencana alam gunung berapi atau banjir seperti waspada, siaga 1 sampai 4, awas, normal. Gunakan intilah rehabilitasi dan rekonstruksi.

Buat skenario karantina wilayah. Gunakan data spasial keruangan. Ini akan lebih efisien. Jika hanya satu kelurahan yang terjangkiti, mengapa semua kelurahan harus dibuat status PSBB atau tanggap darurat. Jika yang merah hanya satu kecamatan mengapa kecamatan lain harus disamakan. Model gradakan, gebyah uyah harus ditinggalkan.

Ibarat menangani kebakaran hutan. Jika areal yang terbakar hanya seratus hektar mengapa harus semua disiram hujan buatan. Jika ada sepetak sawah yang terserang wereng, mengapa harus seluruhnya disemprot antiwereng. Di suatu kawasan tidak ada Covid-19, mengapa seluruh kawasan disemprot desinfektan. Maka tidak berlebihan kalau ada yang menganggap model penanganan pandemik ini tidak efisien dan efektif.

Jika kita kosisten aturan perundangan yang sudah ada, masyarakat tidak perlu dibuat bingung dengan istilah-istilah yang ganjil. Tidak dibuat gak jelas dengan kebijakan yang tidak konsisten layaknya genangan air di daun keladi.

Melindungi masyarakat dari ketakutan. Kecemasan. Kebingungan. Ketidakpastian. Ketidakpahaman, adalah bagian dari tanggap darurat Covid-19. Allahu a’lam bis-shawab. (*)