Sementara Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Dr. Henriette Tabita Lebang mengatakan, yang harus digaris bawahi adalah pentingnya dialog yang ditempatkan dalam bingkai NKRI.
“Kepentingan bangsa yang perlu kita utamakan. Sehingga kalau kepentingan bangsa itu menguasai hati kita maka-maka cara-cara kita mengemukakan pendapat juga akan mementingkan kepentingan bangsa. Itu yang kami sampaikan,” kata Henriette.
Presiden, lanjutnya, mencoba untuk berdialog secara kultural. Karena bangsa Indonesia ini bangsa yang majemuk, tambah Henriette, maka cara mengungkapkan hal-hal yang menyangkut kepentingan bangsa perlu mempertimbangkan faktor-faktor budaya, cara berkomunikasi yang bertanggung jawab.
“Saya kira kalau semua kita tempatkan dalam rangka kepentingan bangsa maka kita harapkan bahwa kita semua akan bersama-sama bekerja sama untuk kemaslahatan bangsa kita,” pesannya.
Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr. Ignatius Suharyo mengemukakan, di Indonesia ini kan latar belakang budaya dan kemerdekaan beda-beda. Maka pasti akan ada diskusi yang panjang, lanjut Suharyo, itulah sebabnya pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) ditunda.
“Supaya masih banyak masukan yang bisa ditampung dan sejauh mungkin memenuhi semua yang perlu dipenuhi oleh UU itu,” kata Suharyo.
Bahwa pada waktunya nanti, UU harus disahkan, menurut Ketua Umum KWI itu sesuatu yang pasti. Pasti setuju yang macam-macam, ada mekanismenya. Kalau tidak setuju, ke Mahkamah Konstitusi saja.
“Jadi menurut saya hal yang sangat biasa bahwa suatu UU dalam jangka waktu tertentu, karena keadaan jaman berubah mesti direvisi. Tetapi proses revisi, proses sosialisasi, dan diskusi perlu waktu yang panjang,” katanya. (wt)