Kota Tanjung Balai Karimun adalah ibu kota kabupaten Karimun di provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kota Tanjung Balai ini berada di bagian tenggara dari pulau Karimun dan secara keseluruhan merupakan bagian dari wilayah perdagangan bebas (free trade zone) BBK (Batam-Bintan-Karimun). Pada 15 Desember 1968 silam, di kota ini lahir seorang bayi bernama Vinsensius, SS, yang kini menjadi anggota DPRD Surabaya (anggota Komisi C), periode 2014-2019.
Dalam catatan korantransparansi (wartatransparansi.com), dari lima puluh anggota dewan yang terhormat di DPRD Surabaya saat ini, satu nama yang terbilang vokal, dialah Vinsensius. Berbagai rencana pemerintah kota, bahkan kebijakan yang diterapkan, pernah ‘diobok-obok’. Sebut saja di antaranya, menyangkut penetapan ruang terbuka hijau diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), penanggulangan banjir, rencana pembangunan trem, dan lainnya.
Kritik yang selama ini disuarakan Vinsensius, bukan tanpa alasan atau mencari sensasi semata. Tetapi, karena lelaki berdarah Sumatera ini tahu persis bahwa salah satu fungsi utama anggota dewan adalah sebagai pengawas.
Bahkan, legislator alumnus Universitas Kristen Maranata Bandung Fakultas Sastra dan Sejarah Inggris angkatan 90 ini, juga pernah menolak mentah-mentah kendaraan dinas untuk anggota dewan pada tahun 2017. Alasannya sederhana, selain punya mobil sendiri, dia tak mau terikat. Atau, mungkin tak berlebihan, bahwa sikap penolakan itu sebagai cerminan dari sebuah moralitas yang bersumber sebagai panggilan di hati nurani untuk menjadi timbangan dari putusan tindakannya.
Dibanding anggota dewan lainnya di DPRD Surabaya, Vinsensius yang akrab disapa Awey ini, memiliki nilai plus tersendiri. Punya warna dan kelas. Dia mampu menjadi seorang wakil rakyat yang tak mau dicap sebagai wakil yang tahunya hanya datang, duduk, diam dan duit, dengan segala fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Setidaknya, politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) telah memberikan warna bahkan meninggalkan sejarah, bahwa ada salah seorang anggota dewan Surabaya dari Nasdem yang kritis, vokal di zamannya.
Dan, mungkin hanya sedikit yang tahu bahwa seorang Awey di masa lalunya, pernah menjadi Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan kerap berurusan politik. Bahkan, tahun 1996-1998, dia juga bagian dari kelompok Cipayung penggerak reformasi bersama sejumlah tokoh mahasiswa lain seperti Anas Urbaningrum dan Muhaimin Iskandar. Hingga kemudian di tahun 2014, Awey bergabung dengan Nasdem.
Menarik, kini Awey tercatat sebagai salah satu Caleg DPR RI Dapil Jatim I Surabaya-Sidoarjo. Tentu, langkah untuk menuju Senayan tidaklah mudah. Banyak pesaing. Bukan cuma dari parpol lainnya, tetapi juga dari parpolnya sendiri.
Meski hanya satu periode menjadi anggota DPRD Surabaya, Awey tentu banyak tahu persoalan yang terjadi di Kota Surabaya lewat gaya kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini. Berikut petikan wawancara ringan Vinsensius dengan wartawan korantransparansi (wartatransparansi.com).
Dari jejak digital, Anda termasuk bagian dari kelompok Cipayung penggerak reformasi 1996-1998. Anda juga pernah menjadi seorang direktur di sebuah perusahaan dengan gaji menjanjikan. Apa yang mendorong Anda untuk terjun ke dunia politik ?
Panggilan terjun ke dunia politik sudah ada sejak mahasiswa. Makanya saya terjun ke dalam gerakan kelompok Cipayung, gerakan reformasi dan sebagainya. Namun keinginan ini tentu tidak berjalan mulus seperti teman-teman lainnya. Artinya ada banyak rintangan dan hambatan. Khususnya dari keluarga tentunya. Lalu kemudian, mungkin ada trauma berpolitik untuk etnis Tionghoa masih kental. Kerusuhan Mei banyak korban-korban etnis Tionghoa. Juga dalam percaturan politik dan lainnya.
Sehingga saat itu saya urungkan niat untuk terjun ke dunia politik. Tapi keinginan ini tidak sirna. Artinya, tak pupus begitu saja. Tetap ada, dan saya nyatakan suatu hari saya akan kembali dalam panggung politik ini. Dalam perjalanan, menghantarkan saya ke kursi direktur salah satu perusahaan dan sebagainya, tapi keinginan berpolitik tidak pernah hilang. Selalu mengatakan one day, suatu hari.
Kemudian pada 2014, ketika ada ajakan dari Nasdem, saya melihat platform Nasdem, visi misinya, garis ideologinya cocok dngan saya, dalam gerakan perubahannya itu sendiri. Akhirnya saya terjun dan meninggalkan semuanya. Termasuk dengan kursi direktur itu. Ketika saya pikir sudah siap saatnya, maka saat itulah saya mengambil bagian itu. Walaupun konsekuensinya ada berbagai hal yang saya korbankan. Kesempatan untuk mengabdi kepada bangsa saya.
Semua yang terlahir di bumi ini, punya kesamaan hak yang sama untuk ambil bagian membangun republik ini. Terlepas dari apapun latar belakang kita. Karena itu, 2014 saya mantapkan obesesi saya, dan ternyata Tuhan berkehendak dan terpilihlah saya sebagai anggota DPRD Surabaya.
Soal gaji, tentu saat jadi direktur dan pemilik sedikit saham, menghasilan lebih besar. Tapi saya tekankan lagi, bahwa politik ini bukan sebagai mata pencaharian, pekerjaan untuk sesuap nasi. Tapi berpolitik itu panggilan pengabdian. Keterpanggilan saya untuk mengabdi di republik ini sangat besar untuk mengambil bagian dari itu. Maka kosekuensinya, saya harus lepas itu semua dengan segala risiko yang ada. Kenapa saya mengambil risikonya besar, bukan yang kecil, sekali lagi saya katakan bahwa inilah kesempatan saya untuk mengabdi kepada Negara saya.
Setelah menjadi anggota DPRD Surabaya periode 2014-2019, bagaimana Anda melihat kebijakan Wali Kota Tri Rismaharini dalam membangun Surabaya dan upaya menyejahterakan rakyatnya ?
Kepemimpinan Ibu Risma dalam menata Surabaya cukup baik. Artinya dari sisi penataan tata kota, salah satunya. Kami juga terlibt dalam susunan RTRK, bahkan saya juga sebagai bagian dari itu. Di RTRK, kita sudah menata Surabaya dengan baik, di mana ada zona-zona tertentu. Sehingga siapapun membangun di Surabaya, merea sudah ditata sedemikian rupa.
Termasuk pengelolaan Lingkungan Hidup. Saya melihat semua punya pemikiran untuk masa depan anak dan cucu-cucu kita, tentunya hidup di kota metropolitan seperti Surabaya, dengan tingkat polusi yang tiggi, pencemamaran yang tinggi, beliau berusaha untuk menyelamatkan anak bangsa ini. Dengan anggaran-anggaran yang ada, dengan membangun taman, ini khan salah satu untuk mengurangi polusi. Taman-taman yang ada ini pun dijadikan sebagai taman aktif, taman edukatif, di mana juga masyarakat bisa hadir untuk kemudian bersosialissi satu sama lain. Ini suatau hal yang luar biasa. Artinnya, Surabaya menjadi bersih, clean and clear. Juga hilangin polusi. Ini konsep dilakukan secara konsisten, anggaran-anggaran yang kemudian kami sepakati di DPRD itu juga mendorong agar Surabaya ini tetap bersih dan hijau.
Kita lihat juga Surabaya sekarang sudah banyak trotoar, untuk digunakan pejalan kaki. Walaupun untuk animo masyarakat untuk berjalan kaki kecil. Tapi bagaimanapun beliau sudah berusaha untuk ke arah sana. Mengajarkan orang untuk mengurangi memakai kendaraan, bebas polusi dengan jalan kaki, dimanjakan dengan trotoar yang lebar, taman, dan sebagainya. Menurut saya, Ibu Risma sudh jauh lebih baik untuk konsen Surabaya tetap bersih sejauh ini.
Kelemahannya hanya satu, bahwa Surabaya dalam kepemimpinannya yang sudah dua periode ini, belum nampak ada moda transportasi yang representatif. Sehingga ketika banyak wisatawan domestik, luar negeri, maka kesulitan yang mereka rasakan adalah moda transportasi.
Ini satu kelemahan, walaupun upaya-upaya ke arah sana sudah ada untuk membangun trem sebagai moda transportasi Surabaya yang akan dibangun dalam jangka pembangunan menengah. Hanya, dalam prosesnya, ada hambatan dari sisi keuangan.
Anggaran yang pernah dijanjikan dari pusat, tidak berujung. Kalau pakai APBD, jelas akan menjadi hambatan nantinya. Akan ada banyak kegiatan-kegiatan yang terkurangi, sehingga moda transportasi yang semula menggunakan trem tertunda. Sehingga Risma akhirnya menggunakan bus Suroboyo sebagai moda transportasi perkotaan. Ini yang kami dorong dari awal, bahkan dari dua tahun sudah saya sampaikan. Kalau memang kita inginkan moda transportasi sebagai urban transportation, namun kita juga harus memperhitungkan kemampuan anggaran kita. Kalau kemampaun anggaran kita tak miliki, dan kemudian kita tunda dan tunda, makin kita tambah satu tahun penundaan, berarti akan tambah satu tahun masalah perkotaan. Maka dari itu saya selalu medorong, lupakan trem ini, dan menggunakan bus Suroboyo ini dijadikan moda perkotaan Surabaya. Sekarang mulai tampak. Persoalan trem ke depan, jika sudah punya kekuatan aggaran, siapapun nantinya wali kota, bisa mewujudkan cita-cita itu.