JAKARTA (Wartatransparansi.com) – Persoalan kebebasan, keberlanjutan, dan tantangan supremasi algoritma terhadap media menjadi isu utama yang diperbincangkan oleh para pakar dan pelaku media dalam diskusi “Kaleidoskop Media Massa 2025”, di Aula Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Acara ini digelar oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) bekerja sama dengan kanal podcast AFU (Akbar Faisal Uncensored, dan disiarkan secara langsung melalui live streaming.
Ketua PWI Pusat Akhmad Munir mengatakan bahwa media massa di Indonesia saat ini sedang berada pada posisi yang krusial. Dilematik. Satu sisi harus berhadapan dengan hegemoni pemilik modal internal (pemilik media) dan eksternal (pemilik kepentingan), dan kekuasaan, di sisi lainnya harus memastikan terjaminnya kebebasan/kemerdekaan pers.
Di saat bersamaan, sebut Munir, kita berada dalam situasi industri media yg sedang tidak baik-baik saja, sebagai dampak dari disprupsi teknologi media/informasi dan platform global, yang sangat memengaruhi finansial industri media.
Kita ingin menguatkan eksistensi media massa, yakni terjamin kebebasannya, sekaligus keberlangsungannya, maka negara (bukan pemerintah) perlu intervensi (dimaknai hadir dengan sungguh-sungguh). Kehadiran negara ini, juga harus dimaknai hadir di sistem negara demokrasi (seperti indonesia), bukan di sistem otoriter/fasis.
Argumentasi yang paling mungkin negara intervensi (dalam pengertian hadir dengan sunguh-sungguh) adalah menguatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi, yang menjaga dan merawat demokrasi.
Tiga pilar (trias politica) eksekutif, yudikatif dan legislatif berada dalam sistem/struktur negara, yang semuanya dibiayai negara, sementara pers pilar keempat yakni Pers, di luar struktur/ sistem kenegaraan, regulasi yang ada tidak memadai untuk menjamin kebebasan dan keberlangsungan media massa.
“Agar memastikan demokrasi berjalan sehat, seimbang dan saling menguatkan (idealnya), maka pilar keempat harus diperkuat, dengan kehadiran negara untuk memperkuatnya, baik melalui program jangka pendek (misalnya insentif pajak dll) dan jangka menengah dan panjang, melalui regulasi-eegulasi yang menguatkan tantangan pers tadi, kebebasan, keberlangsungan dan kemajuan teknologi serta hegemoni plattfom digital,” kata Munir.
“Dilematika pers kita sekarang ini sepertinya cukup pas dikiaskan dengan kalimat “benci tapi rindu”, sambungnya tertawa.
Wakil ketua Dewan Pers menambahkan bahwa ancaman media sosial terhadap eksistensi media mainstream sangat nyata. ”Saat media mainstream tidak punya kemampuan finansial seperti dulu. Kita tidak bisa lagi menempatkan koresponden di setiap kota, sehingga menyulitkan kita dalam melakukan liputan real time,” kata Totok.





