Gelar “Al-Amin” bagi Muhammad SAW disandangkan oleh penduduk Mekkah karena dikenalnya Muhammad SAW sebagai seorang laki-laki yang penuh amanat dan kejujuran. Dan karena fakta ini, amanat dan jujur, saja yang menarik hati seorang Khadijah yang kemudian berharap dapat menikahinya, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri saat beliau dipekerjakan di usaha dagang yang digelutinya..
Tak sedikit penduduk Mekkah yang ketika hendak meninggalkan rumahnya mereka menitipkan barang-barang berharganya pada Muhammad SAW. Banyaknya penduduk yang mengenali Muhammad SAW sebagai orang yang dapat dipercaya penuh, maka tak heran jika mereka pernah menjadikan Muhammad SAW sebagai hakim atau pemutus masalah ketika mereka bertengkar soal kelompok yang berhak meletakkan Hajar Aswad saat bangunan Ka’bah direnovasi. Muhammad SAW-lah yang akhirnya dipercaya sebagai penengah hingga batu hitam tersebut dapat dikembalikan olehnya.
Salah satu karya sangat spektakuler ketia Nabi Muhammad berhasil mewujudkan ’’Perjanjian Hudaibiyah’’ dan ’’Piagam Madinah’’. Dimana pada perjanjian Hudaibiyah sebagaimana pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah umrah.
Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada Allah SWT. Namun karena saat itu kaum Quraisy di Makkah sangat anti terhadap kaum Muslim Madinah (terkait kekalahan dalam perang Khandaq), maka Makkah tertutup untuk kaum Muslim. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Makkah.
Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Makkah, karena Makkah adalah tempat suci. Akhirnya kaum Muslim menyetujui langkah Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini diabadikan dalam Alquran sebagai berikut.
Piagam Madinah (shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622.
Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
Pers dan Demokrasi
Teori kebebasan pers setelah Perang Dunia II berakhir, kemudian memeasuki perang dingin antara Barat dan Timur. Para tokoh pers mengembangkan teori Fred S Sibert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm tampil dengan 4 (empat) model kajian pers, Kemudian lebih populer dikenal dengan empaty teori kemerdekaan pers.
Keempat teori tersebut antaa yaitu, teori authoritarian, teori libertarian, teori akhbar tanggungjawab sosial (social responsibility), dan teori akhbar komunis soviet. Teori-teori pers telah dibangun oleh Siebert, el al (1986), masih menjadi sumber utama dan titik rujukan bagi kerja-kerja seperti ini. Selain empat teori itu, McQuail menyebut dua teori lain, yaitu teori media pembangunan dan teori penyertaan demokratik media.
Dalam teori Trias Politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu (1) Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang; (2) Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang; (3) Judikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya.
Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Pers yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, sebagai penguatan atas Teori Trias Politica, dengan berbagai teori di atas seakan-akan menjadi gerbong kekuaran baru, sekaligus dengan lokomotif baru untuk menyempurnakan praktik demokrasi.
Namun, di ketika jaman dimana demokrasi sudah menjadi kekuasaan pemodal, maka seakan-akan pers dan demokrasi hanya sebuah teori belaka. Sistem pemerintahan dan sistem organisasi seluruh dunia, termasuk di Indonesia, hanya tinggal bayang-bayang kekuasaan. Semua sistem akan berubah setiap saat tergantung dari pemimpin yang berkuasa, di semua tingkatan.
Ketidakberdayaan pers sesungguhnya sudah dapat dibaca, mengingat hampir seluruh teori pers sesungguhnya menjiplakan dari sistem atau model demokrasi yang berkembang di dunia saat itu. Dimana pers komunis lahir karena adanya Demokrasi Komunis (Marxisme-Leninisme).
Demokrasi komunis adalah demokrasi yang sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Demokrasi komunis muncul karena adanya komunisme.
Komunisme atau Marxisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis diseluruh dunia, sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”.
Demokrasi Barat (Liberal-Kapitalis), muncul teori pers Libertarian.. Demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu ataupun masyarakat.
Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
Ciri-ciri demokrasi liberal sebagai berikut. (1) Kontrol terhadap negara, alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol; (2) Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional; (3) Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang untuk memperjuangkan dirinya.
Demikian juga teori pers Authoritarian, Tanggung Jawab Sosial, dan teori lainnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, hanya sekedar teori untuk menguatkan kekuasaan ketika pemimpin atau penguasa pemerintahan ketika itu, menghendaki model demokrasi sebagaimana dikehendaki.
Oleh karena itu, menyatakan proses memilih pemimpin merupakan sebuah proses demokrasi masih perlu pemikiran lebih jernih dan lebih cerdas lagi.
Sebab, dimana kepentingan pemodal sudah mengarahkan bidikan untuk memilih pemimpin untuk mengawal, mengamankan, dan menyamankan dunia usaha, serta dunia-dunia lain sebagai permainan mengkokohkan ‘\’’kekuasaan’’, maka demo grazy, akan dilakukan dengan segala cara, juga dengan berbagai cara, bahkan lebih santun melakukan banyak cara.
Itulah sesungguh, ketika jaman sudah berubah, maka demokrasi tidak bedanya hanya seperti menyaksikan demo crazy. (*)