Proses pembentukan BPD yang semestinya bottom up dari partisipasi aktif permusyawaratan rakyat malah disiasati sedemikian rupa. Yang pada intinya pengkondisian semata. Tetap disahkan meskipun banyak aspirasi penolakan dan jelas-jelas tidak sesuai aturan.
Proses perencanaan pembangunan tidak dijalankan secara partisipatif. Permusyawaratan hanya formalitas belaka.
Fungsi BPD diabaikan. Hak rakyat dikesampingkan. Tetap dianggap sah asal bisa menyusun dokumen administrasi yang entah melalui trik sulap yang bagaimana.
Bahkan tanpa dokumen pun ada anggaran yang bisa dicairkan. Tanpa ada BPD pun juga tetap bisa cair.
Belum lagi pada tahap pelaksanaan hingga pertanggungjawaban pembangunan. Keterlibatan rakyat hanya sebatas mobilisasi jika dalam keterpaksaan yang butuh mempertontonkan ritual formalitas.
Mungkin mereka lupa bahwa segala potensi desa adalah milik segenap rakyat. Bukan semata milik seseorang yang sedang berkuasa.
Desa bukan lagi sekadar objek yang setiap pergerakannya dikendalikan oleh pemerintah kabupaten. Mereka bukannya sibuk membina, tapi justru sibuk mengatur dan menutupi fakta dan kenyataan.
Setiap ada laporan dan aspirasi yang bermaksud meluruskan, oleh mereka-mereka itu dikelola sedemikian rupa agar tidak gaduh. Tidak terdengar ke atas. Tidak menyebar kemana-mana.
“Yang penting bagi mereka itu tidak mengganggu kelancaran pencairan dan mengesankan citra baik atas kinerja pemerintah daerah,” ujar pak Sareh yang wajahnya terlihat sangat geram usai mendengar wadulan sahabat BPD tentang situasi desanya. (Rudi Latif, Ketua Asosiasi BPD Banyuwangi).