Oleh : Rudi Latif
Pemangku kepentingan strategis pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengajarkan kepada kita bahwa Peraturan Bupati, Peraturan Daerah, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, bahkan hingga Undang-Undang tentang Desa boleh diabaikan.
Tidak perlu ditaati sepenuhnya. Tidak wajib dilaksanakan seluruhnya. Cukup bisa disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan, situasi, dan kepentingan kita sendiri.
Sayangnya para akademisi di kampus-kampus dan pegiat NGO nyaris tidak ada yg benar-benar kritis dalam hal berdesa yang sesungguhnya. Kecuali pada saat memiliki kepentingan bagi dirinya sendiri.
Mereka-mereka itu nyata-nyata memberi teladan kepada kita bahwa yang terpenting adalah Dana Desa (DD) secepatnya bisa terserap, APBD cepat cair, dan kebutuhan administrasi bisa terpenuhi meskipun entah bagaimana caranya.
Sebenarnya, peraturan perundang-undangan menegaskan bahwa proses perencanaan pembangunan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawabannya wajib dilaksanakan secara regulatif dan partisipatif dengan memposisikan rakyat sebagai subjek pemegang kedaulatan yang harus diberi ruang seluas-luasnya dan akses yang sebesar-besarnya.
Sebagai wujud permusyawaratan perwakilan guna ikhtiar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diatur sedemikian rupa fungsi strategisnya. Keberadaannya dijamin secara mutlak dengan pengaturan peran yang menjadi prasyarat wajib dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan Desa.
Musyawarah Desa, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, dan berbagai Musyawarah lainnya pun juga sudah diberikan guidance yg ideal.
Namun nyatanya?
Proses pembentukan BPD yang semestinya bottom up dari partisipasi aktif permusyawaratan rakyat malah disiasati sedemikian rupa. Yang pada intinya pengkondisian semata. Tetap disahkan meskipun banyak aspirasi penolakan dan jelas-jelas tidak sesuai aturan.
Proses perencanaan pembangunan tidak dijalankan secara partisipatif. Permusyawaratan hanya formalitas belaka.
Fungsi BPD diabaikan. Hak rakyat dikesampingkan. Tetap dianggap sah asal bisa menyusun dokumen administrasi yang entah melalui trik sulap yang bagaimana.
Bahkan tanpa dokumen pun ada anggaran yang bisa dicairkan. Tanpa ada BPD pun juga tetap bisa cair.
Belum lagi pada tahap pelaksanaan hingga pertanggungjawaban pembangunan. Keterlibatan rakyat hanya sebatas mobilisasi jika dalam keterpaksaan yang butuh mempertontonkan ritual formalitas.
Mungkin mereka lupa bahwa segala potensi desa adalah milik segenap rakyat. Bukan semata milik seseorang yang sedang berkuasa.
Desa bukan lagi sekadar objek yang setiap pergerakannya dikendalikan oleh pemerintah kabupaten. Mereka bukannya sibuk membina, tapi justru sibuk mengatur dan menutupi fakta dan kenyataan.
Setiap ada laporan dan aspirasi yang bermaksud meluruskan, oleh mereka-mereka itu dikelola sedemikian rupa agar tidak gaduh. Tidak terdengar ke atas. Tidak menyebar kemana-mana.
“Yang penting bagi mereka itu tidak mengganggu kelancaran pencairan dan mengesankan citra baik atas kinerja pemerintah daerah,” ujar pak Sareh yang wajahnya terlihat sangat geram usai mendengar wadulan sahabat BPD tentang situasi desanya. (Rudi Latif, Ketua Asosiasi BPD Banyuwangi).