BUKAN karena kebetulan menjelang pelantikan Presiden JokomWidodo dan Wakil Presiden KH Ma;ruf Amin, pada tanggal 20 Oktober 2019, secara tiba-tiba ada peristiwa berdarah dan sangat muskil terjadi di jaman demokrasi seperti saat ini. Ada perbuatan nekad luar biasa anak manusia dengan sengaja dan ingin membunuh dengan cara menusuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menteri Polhukam) Wiranto, Kamis 10 Oktober 2019, di Pendeglang Banten, usia meresmikan Gedung Kuliah Bersama Universitas Mathla’ul
Padahal, sebagaimana rilis Humas Kemenko Plhukam, Menko Polhukam Wiranto dalam Forum Kebangsaan di Jakarta menyatakan bahwa tugas pemerintah melindungi dan menjaga segenap bangsa, baik yang mayoritas maupun yang minoritas. ’’Maka yang minoritas tidak perlu khawatir akan ditindas oleh mayoritas, negara harus melakukan langkah-langkah untuk melindungi, namun yang kecil jangan jadi tirani, minoritas ini harus menjadi balance dan ini yang kita pelihara,’’
Peristiwa berdarah ini juga secara mengejutkan karena kemajuan teknologi digital melibat sejumlah perwira di TNI AD maupun TNI AU, karena isteri Tentara Nasional Indonesia ini, melakukan komentar melalui cuitan di media digital hingga mengakibatkan pelanggaran terhadap undang-undang disiplin ketentaraan maupun undang undang ITE. Ibarat peperangan sejumlah perwira gugur dari medan laga, sejumlah isteri perwira siap-siap menerima ancaman
Lepas dari ekses di lingkungan TNI, peristiwa berdarah terhadap Menko Polhukam merupakan sinyal bahwa gerakan radikalisme dengan terang-terangan mengancam keamanan dan kenyamanan bangsa dan negara, Terbukti, seorang menteri yang berniat melakukan kinerja positif di sebuah perguruan tinggi harus menerima ’’serangan mematikan’’ yang sangat konyol.
Apakah ini bukan simbol perlawanan pura-pura bodoh? Dan juga bukan kebetulan bahwa peristiwa berdarah itu menjelang Hari Santri Nasional (HSN). Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj juga menyatakan sebagai kondisi darurat terhadap radikalisme.
Hari Santri Nasional
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam memperingati Hari Santri Nasional (HSN) menyatakan bahwa peringatan ini untuk menutup kekurangan sejarah Indonesia atas peristiwa pertempuran Surabaya yang dilatarbelangi Resolusi Jihad. ’’Keluarga NU dan rakyat Indonesia, memperingati peristiwa mengenang jasa ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj.
Said berharap perjuangan kaum santri di masa awal kemerdekaan Indonesia mampu diaktualisasikan di masa kini yaitu dengan menolak terorisme, radikalisme, gerakan ekstrim, melawan kemiskinan dan memerangi peredaran narkoba. Said juga mengatakan HSN adalah momentum memperingati keluarnya Resolusi Jihad oleh pendiri NU Hasyim Asy’ari dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Menurutnya, pengertian santri bukan semata murid yang menimba ilmu di sebuah pesantren. Santri adalah orang Islam yang beriman kepada Allah dan berakhal mulia, serta mempunyai semangat membela Islam dan tanah air. ’’Alhamdulillah, tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Banyak sekali yang merespons positif, ada Presiden Jokowi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Ibu Megawati Soekarno Putri, Bapak Hidayat Nur Wahid, di samping Ormas yang hadir di sini,” kata Said.
Hari Santri merupakan wujud apresiasi untuk mengenang jasa santri dan ulama melawan serangan sekutu di Surabaya pada 10 November 1945. Said mengisahkan, bahwa pembunuh Jenderal Mallby adalah santri bernma Harun dari Jombang, dan salah satu pejuang yang merobek bendera warna biru di Hotel Oranye adalah santri bernama Asy’ari dari Surabaya.
Korban dari pejuang Indonesia pada saat pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, sampai 20 ribu santri, Resolusi jihad inilah yang mengobarkan jiwa para santri untuk berperang melawan penjajah yang datang kembali ke Surabaya. Dengan ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional, maka jihad sekarang dan ke depan untuk kemanfaatan bangsa dan negara, harus bergeser ke jihad intelektual, ekonomi, budaya, politik, tapi semangatnya harus seperti KH Hasyim Asy’ari ketika melawan penjajah.