Opini  

Hari Santri Nasional Vs Radikalisme

Oleh : Djoko Tetuko

Hari Santri Nasional Vs Radikalisme

Wakaf 

Resolusi Jihad PBNU ketika itu adalah seruan kepada umat Islam, terutama warga NU dan masyarakat Indonesia yang santri (belajar mengaji ke pondok pesantren maupun di kampung), untuk berjuang kembali melawan penjajah, setelah NU melaihat bahwa kemerdekaan Indonesia dalam ancaman Sekutu bersama

Guna memantapkan sikap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan NU mengirim surat kepada pemerintan yang isinya :, ’’Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat ”sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.’’.

Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:

    1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
    2. Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
    3. Musuh RI, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
    4. Umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
    5. Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap muslim (fardhu ’ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.

Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya bersamaa kekuatan dari seluruh Nusantara yang ada di Surabaya, juga rakyat yang radius 94 km, mewakafkan myawanya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir yang dipekikkan Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya.

Dari kalangan pesantren dan kampung-kampung santri, para santri bersama pemuda-pemuda telah rela mewakafkan nyawanya untuk berjuang melawan penjajah, setelah Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid.

Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.

Melawan Radikalisme

Wakil Presiden terpiluh KH Ma’ruf Amin meminta kalangan pesantren memerangi radikalisme, juga mengutip pernyataan KH Said Aqil Siradj.bahwa aktualisasi di masa kini, santri di pesantren maupun santri di mana saja, dengan jiwa santri yang selalu rendah hati kini wajib memerangi dan  menolak terorisme, radikalisme, gerakan ekstrim, melawan kemiskinan dan memerangi peredaran narkoba. Maka dengan pesan kebangsaan bagi kalangan santri, tidak ada pilihan lain kecuali menjalankan amanat itu dengan sungguh-sungguh. Apalagi sudah pada situasi dan kondisi darurat.

Melawan radikalisme dari dunia pesantren, sudah pasti bukan dengan melakukan peperangan seperti ketika menjalan ’’Resolusi Jihad’’ pada tahun 1945 dengan amanat mempertahan kemerdekaan RI. Tetapi kini, dengan berbagai kemajuan dan modernisasi digital, kalangan santri dituntut mampu mengendalikan diri dan emosi, tidak terbawa arus kemajuan teknologi digital yang negatif, tetapi membangun dengan menjaga dan mempertahankan NKRI, dengan segala cara yang positif dan akhlaqul karimah atau bermoral tinggi.

Melawan redikalisme dari kalangan pesantren atau santri di mana saja, sudah pasti dengan jiwa dan raga mempertaruhkan nyawa sekalipun untuk menjaga NKRI, tetapi melalui pesan-pesan bermoral bahwa dalam berbangsa dan bernegara terorisme, radikalisme, gerakan ekstrim, sudah bukan saatnya. Tentu saja dengan mengajak mereka menjaga martabat bangsa dan negara melalui perilaku yang sejuk dan tawadu’. Juga memerangi kemiskinan dan kebodohan yang menjadi penyebab radikalisme dengan melakukan usaha dan ikhtiyar maksimal guna mengawal seluruh tumpah darah tanah air Indonesia tanpa pamrih.

Melawan dan memerangi terorisme, radikalisme, gerakan ekstrim gaya pesantren. Pertama, menjaga pesantren bebas dari paham yang bertentangan dengan negara dan bangsa; Kedua, mengajak aktifitis yang salah kaprah untuk kembali ke jalan yang benar; Dan ketiga, apabila dipanggil untuk menjaga dan mengawal NKRI harus melakuan perlawanan fisik maupun harta benda insyaAllah kalangan santri berada pada garis terdepan melakukan perlawanan sebagai Resolusi Jihad Modern (*)