Opini  

Sistem Zonasi ’’Musibah’’ Dunia Pendidikan

Oleh : Djoko Tetuko

Sistem Zonasi ’’Musibah’’ Dunia Pendidikan
Djoko Tetuko

PERATURAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak (TK),Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau bentuk lainnya yang sederajat, tiba-tiba secara nasional menjadi ’’musibah’’ dunia pendidikan.

Wali murid dan siswa, anak didik, juga guru hampir di semua sekolah harus berburu kepandaian memalsukan angka, bahkan menyatakan menjadi ’’orang miskin’’ hanya untuk menambah angka pada penilaian.

Harapan agar Permendikbud dapat merevitalisasi pelaksanaan PPDB pada satuan pendidikan formal agar berlangsung secara lebih objektif, akuntabel, transparan, nondiskriminatif, dan berkeadilan sehingga dapat meningkatkan akses layanan pendidikan, seakan-akan pupus dengan semakin banyak masyarakat seluruh negeri menyatakan ketidakpuasan terhadap peraturan dengan menitikberatkan sistem zonasi, tetapi tanpa diadakan uji coba, bahkan memaksakan diri dengan mengacu pada aplikasi geogle untuk mengukur apakah seorang anak didik masuk zona yang sesuai.

Mendikbud Muhadjir Effendy memang sebelumnya menyatakan bahwa Permendikbud ini merupakan penyederhanaan dari peraturan sebelumnya, dan memperbaiki beberapa ketentuan yang mengatur tata cara pelaksanaan PPDB, mulai dari persyaratan, seleksi, sistem zonasi, termasuk pengaturan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar dan jumlah rombongan belajar dalam satu satuan pendidikan

Yang pasti sampai detik ini sistem zonasi sudah menuai banyak korban murid dan siswa berkemampuan di atas rata-rata, tidak mampu melanjutkan pendidikan di sekolah negeri yang tidak jauh dari rumahnya, bahkan dengan  transportasi sederhana atau jalan kaki dapat menjangkau sekolah dimaksud, gagal masuk gara-gara aplikasi geogle menyatakan jaraknya jauh.

Salah satu contoh anak didik dengan nama panggilan Jojo, mendaftar di SMP Negeri 3 Sidoarjo  masuk ranking 3 besar di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ummah Celep Sidoarjo, tetapi tidak diterima gara-gara dianggap jaraknya jauh, tetapi ada siswa yang sama dengan prestasi biasa-biasa saja justru diterima.

Sementara pada Bagian Keempat Permendikbud tentang Sistem Zonasi, dijelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat.

Sistem Zonasi ’’Musibah’’ Dunia Pendidikan

Ratusan wali murid yang tergabung dalam Komunitas Orang Tua Peduli Anak SMP Se-Surabaya (KOMPAK), melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Grahadi Surabaya.
Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial. Ternyata belum ideal untuk diterapkan, profesiona dan proporsional proseentase tidak seimbang.

Kelemahan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Permendikbud 14/2018 memiliki banyak kelemahan, sehingga menuai masalah. Sebagaimana diungkapkan Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo, sejumlah pasal Permendikbud 14/2018 itu cukup bias.

Masalah pertama, Heru menyoroti kelemahan Permendikbud 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB. Pada Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 berbunyi, “Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM.”

Pasal ini banyak dimanfaat para orang tua murid dan siswa untuk mengusahakdengan berbagai cara untuk mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), guna menambah nilai dari anaknya, dan berpeluang besar masuk sekolah dimaksud, apalagi mendapat pembebasan biaya pendidikan.