Opini  

Sistem Zonasi ’’Musibah’’ Dunia Pendidikan

Oleh : Djoko Tetuko

Sistem Zonasi ’’Musibah’’ Dunia Pendidikan
Djoko Tetuko

Dan, memang tidak mudah melacak satu demi satu pemalsuan SKTM, tetapi di beberapa daerah sudah banyak disalahgunakan untuk kepentingan PPDB. Masalah kedua terlihat pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, “Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB.”

Pasal tersebut tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu. menilai banyak migrasi dukcapil digunakan hanya untuk memperoleh peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit.

Masalah ketiga, terkait pengertian ‘radius terdekat’ yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 berbunyi, “Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.”

Pasal tersebut membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota dan jauh dari konsentrasi pemukiman warga. Sehingga, sekolah-sekolah yang saling berdekatan itu kekurangan pendaftar.

Zonasi Wilayah dan Prestasi Permasalahan dan kelemahan Permendikbud 14/2018 sesungguhnya . Bukan semata-mata karena kesalahan atau kelemahan pasal-pasal sebagaimana temuan di atas, tetapi praktik di lapangan terkesan kaku dan hanya mengandalkan aplikasi, juga tidak mau memeta zona secara tradisional, dan mengembangkan prosentase kuota untuk jalur prestasi lebih dari ketentuan

Padahal, jika kondisi suatu daerah dengan sistem zonasi dengan kuota 90 persen zonasi terdekat, sesungguhnya jika disampaikan secara transparan ada perubahaan sebagai kebijakan lokal, insyaAllah dapat diterima dan sangat bermanfaat.

Mislanya, bisa diberikan kebijakan dengan mengeterapkan prosentase zona terdekat berubah menjadi50 persen. Kemudian zonasi wilayah, misalnya sekolah dalam radius 1 kecamatan atau 2 kecamatan 30 persen anak didik prestasi, 10 persen zona bagi murid atau siswa SKTM atau sejenis, dan 10 persen bagi murid atau siswa pindahan. Sekedar sebuah catatan bahwa Permendikbud dengan berbagai kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan di lapangan, tentu saja ke depan membutuhkan perbaikan atau revisi.

Namun jauh lebih buruk dari ’’musibah’’, apabila ada orang tua murid dan siswa hanya karena memburu tempat sekolah favorit atau sejenis, memalsukan berbagai surat termasuk SKTM, sebab memalsukan untuk kepentingan sesaat, justru akan menjadi ’’musibah’’ lebih besar berkepanjangan.

Mengingat melakukan perbuatan kurang terpuji merupakan do’a kurang terpuji pula, bahkan menjadikan awal akhlaq kurang terpuji. Sebuah kerugian besar untuk kepentingan sesaat. Ke depan sebagai alternatif untuk menyempurnakan pelaksanaan Permendibud 14/2018 bahwa sistem zonasi tetap diberlakukan untuk kuota 50 persen dengan model wilayah berdasarkan kecamatan.

Bisa dikelompok satu kecamatan, dua kecamatan, atau tiga kecamatan menyesuaikan jumlah penduduk di setiap daerah, 25-30 persen berdasarkan kemampuan prestasi, berdasarkan hasil tes dan nilai rata-rata hasil proses belajar sebelunnya, 20 persen diberikan kepada murid atau siswa tidak mampu atau sejenis, mislnya anak yayim piatu, insyaAllah akan bermanfaat dan melegakan semua orang tua murid dan siswa. (*)