SETELAH dua masa pemilu 2009 dan 2014 lalu belum terwujud, tahun 2019 ini, Ferry Is Mirza akrab dipanggil FIM, maju jadi calon legislatif (caleg).
FIM, dicaleg-kan oleh PAN untuk DPRD Jatim dari Dapil Sidoarjo. Sebagai debutan dalam politik praktis, wartawan senior mantan Jawa Pos (JP) ini mengaku siap lahir batin menjalaninya. “Insyaa Allah bila terpilih jadi anggota dewan, saya akan memberi manfaat untuk rakyat,” katanya.
Pria keturunan campuran Batak Bugis ini tak asing dengan wilayah Jatim. Ketika menjadi wartawan JP, ia pernah bertugas di berbagai daerah. Semisal, di wilayah Malang Raya (1988-1992), dan ketika gunung Semeru meletus tahun 1993 ia ditugasi meliput, hingga tahun 1994 ditempatkan sebagai Kabiro JP Jember.
Saat di Lumajang dan kota suwar-suwir Jember, FIM sempat membuat heboh. Karena beritanya menguak tabrakan yang dilakukan Kakansospol Lumajang, RA Rahman. Ending beritanya Kakansospol dicopot dari jabatannya.
Begitu pula running news yang dibuat FIM mengungkap kasus tanah antara petani Jenggawah dan PTP Jember. Menyedot perhatian tak hanya pemerintah provinsi, tapi juga pusat. Pasalnya, kasus Jenggawah menyeruak karena aparat waktu itu (TNI) memback- up PTP. Petani pun unjuk gigi. Setiap hari melakukan aksi demo menduduki lahan yang sudah puluhan tahun mereka garap. Kasus Jenggawah mencuat berkait lahan itu yang akan di HGU kan oleh PTP.
Akibatnya, jatuh korban seorang petani karena kekerasan yang dilakukan oknum aparat. Peristiwa jatuhnya korban ini memunculkan istilah “kesalahan prosedure” yang kali pertama dikatakan oleh Haris Sudarno Pangdam VIII Brawijaya waktu itu.
Tahun 1996, FIM ditarik ke mabes JP waktu itu masih di Karah Agung. Ia sempat menjadi Korlip (koordinator liputan). Hanya beberapa bulan, FIM ditugasi mengover wilayah Madura berkantor di Bangkalan. “Nasib saya selalu dapat tugas di daerah yang ‘keras dan panas’. Alhamdulillah saban hari berita yang saya turunkan menarik,” tutur FIM kala diwawancarai di gedung PWI Jatim.
Memasuki massa Krismon dan Reformasi (1997/98), mabes JP dari Karah pindah ke Grha Pena. FIM pun ditarik lagi dan ditugasi menyulap Suara Indonesia (kini Radar Surabaya, red) dari koran ekbis menjadi harian umum.