Meneropong Regulasi Umrah Mandiri, Siapa Diuntungkan?

Meneropong Regulasi Umrah Mandiri, Siapa Diuntungkan?
HS. Makin Rahmat

Artinya, sekalipun diberi ruang “mandiri”, jamaah tetap tidak bisa bebas sebebas-bebasnya. Ia tetap harus berada dalam sistem yang terorganisir, transparan, dan dapat diawasi. Dalam UU ini tak menyebut ketentuan yang mengatur bagaimana umrah mandiri direncanakan, diorganisisr, dan memenuhi azas transparan serta dapat diawasi. Siapa yang mengawasi? Semua masih sumir.

Publik tidak salah jika berkesimpulan bahwa jika kegiatan umrah mandiri itu perencanaanya, pengorganisasianya, dan pelaporanya tidak dilakukan sebagaimana diatur dalam pasal ini, berarti perjalanan itu secara hukum bisa dianggap tidak sah. Lantas siapa yang bertanggung jawab, bila terjadi sesuatu yang berpotensi hukum belum diatur secara jelas.

*Nasib Jamaah Umroh Mandiri*
Benarkah jamaah umroh mandiri memperoleh perlindungan memadai? Pasal 88A mengatur bahwa jemaah umrah mandiri berhak memperoleh dua hal, yakni memperoleh layanan yang sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyedia layanan dengan jemaah umrah; dan melaporkan kekurangan dalam pelayanan penyelenggaraan ibadah umrah kepada menteri.

Pasal 87A yang mengatur syarat bagi jamaah umrah mandiri, yaitu harus: beragama Islam, memiliki paspor, tiket, surat sehat, visa, serta bukti pembelian layanan melalui sistem informasi Kementerian.

Ketika terjadi error, kesalahan data, dan aplikasi nusuk, lembaga mana yang punya kewenangan untuk menangani, mengatur, membina dan mengawasi kegiatan umrah mandiri ini. Problematika hukum maupun jebakan sosial dan politik yang mungkin saat ini belum terpikirkan. Bila solusi sekedar revisi, tentu menimbulkan kegamangan dan penafsiran bahwa legalisasi Umroh Mandiri tanpa pertimbangan matang.

Bila kita telaah pasal 96 ayat (5), berbunyi: “Jemaah Umrah dan petugas umrah mendapatkan pelindungan hukum, keamanan, layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi, kecuali jemaah umrah mandiri; serta pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan, *kecuali jemaah umrah mandiri.*”

Kalimat *“kecuali jemaah umrah mandiri”* berarti ada perlakuan beda terhadap warga negara yang menjalankan ibadah di tanah suci. Jamaah yang memilih jalur mandiri justru kehilangan hak dasar berupa jaminan layanan dan perlindungan.

Karena sudah disahkan, tentu tidak bisa lepas pada konteks kalimat tersebut. Akibatnya, belum menyentuh pada keadilan dan terjadi diskriminasi yang bertentangan dengan asas “pelindungan” dan “non-diskriminasi” sesuai pasal 2.

Maka subyektif Al faqir, apakah proses pembuatan UU nomor 14 tahun 2025 ini mengikuti prosedur Prolegnas dengan melibatkan semua unsur, atau hanya mengejar target? Atau oknum pejabat yang terlibat hanya memakai kacamata kuda. Belum lagi, ratusan travel umroh yang berpayah-payah mengurus izin PPIU, hingga dinyatakan resmi siap-siap menunggu kebangkrutan. Setidaknya ada wasilah, bahwa tujuan umroh selain mencari ridlo Allah SWT, juga sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Dari satu umrah ke umrah yang lainnya (berikutnya) menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bish-showab. (*)

*) Ketua Forum Pimred SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Jawa Timur, Tour Leader Haji-Umroh/ Advokat