Bagi warga yang ikut bergabung syaratnya pun sederhana yakni cukup ikhlas dan terbuka, dan tidak perlu embel-embel organisasi atau afiliasi.
Kegiatan GRRM menyasar pun seluruh sudut masjid mulai plafon, lampu, kipas angin, AC, kaca jendela, lantai, hingga kamar mandi pun ikut dibersihkan. Perlu digarisbawahi relawan GRRM tidak menyentuh renovasi atau perbaikan. Fokus mereka satu yakni membersihkan.
Di Masjid Auliya’ Setono Gedong, relawan dari berbagai kota berkumpul dalam satu semangat. Mereka tak sekadar mengangkat debu, tapi juga menumbuhkan sesuatu yang lebih halus yakni rasa persaudaraan yang tak bisa dibeli.
“Bagi kami, kegiatan ini tidak hanya soal sapu dan pel, tapi cara merawat persaudaraan,” ungkap Antok.
Dewan Pembina GRRM Kediri, Imam Wihdan Zarkasyi, mengaku bangga dan terharu. Para relawan dari luar kota mulai berdatangan sejak malam, dan langsung bergabung dalam kegiatan bersih-bersih di area Masjid Aulia’ Setono Gedong Kota Kediri.
“Mungkin ini khodarullah, semua mengalir begitu saja,” katanya.
Menurut pria yang akrab disapa Pak Lek Imam, partisipasi warga dalam gerakan ini bukan cuma soal kebersihan fisik. Di beberapa tempat, kegiatan semacam ini justru mendekatkan kembali masyarakat yang selama ini terasa jauh dari agama Islam.
Masjid Auliya’ pun dipilih karena nilai sejarahnya dan juga daftar utama ketika pendirian GRRM, sekaligus mendekati momentum Idul Adha 1446 H. Pak Lek Imam menegaskan, GRRM bukan gerakan beraroma politik atau ideologi tertentu. Hal ini agar relawan atau masyarakat yang tergabung GRRM agar lebih nyaman dan tidak meninggalkan komunitas berbasis sosial ini.
“Kami berusaha netral, supaya tidak ada sekat yang membuat masyarakat menjauh,” katanya.
Yang membuatnya optimistis adalah keterlibatan anak muda. Dalam aksi kali ini, banyak generasi muda turut ambil bagian.
“Ini bukan sekadar aksi bersih-bersih seperti cleaning service. Tapi pelajaran penting tentang bagaimana merawat masjid sebagai rumah bersama yakni agar tetap bersih, nyaman, dan hidup,” tutupnya.