Selasa, 10 Desember 2024
25 C
Surabaya
More
    OpiniFilsafat Orang-orang Kalah

    Filsafat Orang-orang Kalah

    Oleh : Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med

    Orang-orang kalah, sebut saja Si Kalah. Mereka selalu ada dalam hidup dan kehidupan. Begitu juga Si Menang sebagai lawan Si Kalah. Konsep kalah menjadi ada karena menang adalah realita. Seperti halnya terang, terpancar karena ada gelap membidaninya. Itulah siklus. Terus mengitari di manapun manusia berada. Hidup selalu dalam bingkai dikotomi. Saling melengkapi dan berseberangan sebagai fakta yang tak bisa dipungkiri.

    Si Menang tak perlu belajar merayakan kemenangannya. Euforia atas kemenangan tak pernah ditanamkan di bangku sekolah. Mengalir begitu saja sebab keadaan mengajarinya. Alam menuntunnya menyediakan persemaian nur ilahi. Bebas berekspresi. Si Menang bisa saja mengibar bendera setinggi-tingginya. Bersyukur tafakur hingga berpesta pora. Logis, mengingat menang ditebus dengan darah, keringat dan air mata. Manusiawi, karena menang diawali kerasnya dialektik kognitif dan aksi.

    Menang merupakan manifestasi harapan. Eksotik, isoteris, indah menawan. Kemenangan merupakan akhir puasa panjang. Tak berlebihan disebut juga hari pembebasan. Pembebasan dari ragam tekanan. Butuh pergulatan untuk mendapatkan. Spekulatif dan tidak gampang.

    Sebaliknya, entitas Si Kalah selalu meronta. Tak ikhlas menerima kekalahan. Bahkan acapkali mengumpat Tuhan karena merasa dipencundangi. Si Kalah bisa gelap mata. Kedap etika. Hilang rasional dalam belenggu emosional. Mencari justifikasi dengan ragam alasan guna menenangkan diri. Mantra lama diucap berkali-kali. Dipublis sebagai nasihat pribadi. Ketika kekalahan adalah kegagalan, maka Si Kalah akan memaknai bahwa gagal adalah sukses tertunda. Kalah dan menang adalah kenyataan. Kalah adalah fakta. Tak bisa dicabut dengan penghiburan melalui narasi kata.  Tak bisa disembunyikan dalam peti diplomasi. Selalu menemukan jalannya dalam ranah inderawi.

    Si Kalah dan Si Menang juga lekat dengan perhelatan Pilkada. Dua hal itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin kita ada diantaranya. Kini, Si Kalah urgen dibicarakan. Bukan dikasihani lantas dibesarkan hatinya dengan pendapat orang-orang bijak. Si Kalah berada dalam posisi konsekuensi. Resiko atas jalan yang dipilih dan dikehendaki. Berarti kalah adalah salah satu opsi dalam bingkai prediksi. Itulah peradaban demokrasi di negeri ini.

    Baca juga :  Membaca Arah Permohonan Perselisihan Pemilihan Bupati Magetan Tahun 2024

    Meskipun Si Menang belum mendapatkan legitimasi KPU, namun trend jumlah suara on proses bisa dibaca arah kecenderungannya. Si Menang bisa saja masih berstatus sebagai fakta berbasis data. Kelak ditetapkan KPU menjadi fakta hukum. Si Menang halal bergembira. Si Kalahpun juga tak dihalangi untuk kecewa. Keduanya merdeka meledakkan suara hati.

    Dalam konteks Pilkada, terdapat tiga kategori sikap Si Kalah.

    Pertama, Si Kalah yang bersahabat dengan kekalahannya. Komunitas ini bersikap objektif. Keberpihakan terhadap paslon tercipta karena simpati. Lebih personal dan masuk akal. Si Kalah tidak saja mau menerima kekalahan namun juga mengakui akan keunggulan Si Menang. Si kalah tetap tersenyum. Jauh dari sakit hati mensikapi.

    Dalam wawasan filsuf Stoik, Si Kalah menjaga kendali diri. Tidak membiarkan emosi bergantung pada faktor di luar estimasi. Komunitas pertama ini ada  tanpa kepentingan. Tidak berbeban harap terhadap kemenangan paslon karena relasi terjalin tanpa kontraktual. Enjoy menerima keadaan. Baginya, Pilkada tak lebih dari kompetisi tata kelola mengakomodasikan sumberdaya. Butuh dana, talenta, konsep dan tenaga sebagai wahana mengeksplorasi massa. Menang sesungguhnya merupakan keunggulan tata kelola.

    Kedua, Si Kalah yang tidak menerima kekalahannya. Karakteristik sikapnya diametral dengan yang pertama. Perilakunya emosional. Senantiasa mencari celah. Jika tertutup celah justru akan membuat celah baru. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatakan ‘tidak’ kepada Si Menang. Melalui opini, komunitas gibah, kreasi media hingga fitnah adalah jalan pilihan untuk menyerang. 0

    Bahkan bisa juga merubah data dan merekayasa fakta. Mengakali hukum hingga menjalin persekongkolan jahat dengan siapapun. Si Menang tak boleh lengah. Pengawalan tetap dibutuhkan terutama terhadap penyelenggara. Demokrasi harus on the track meskipun jurdil masih sebatas cita-cita. Demokrasi tak sekedar rahim bagi Si Kalah dan Si Menang, namun geliat khalayak adalah ukuran.

    Baca juga :  Membaca Arah Permohonan Perselisihan Pemilihan Bupati Magetan Tahun 2024

    Baginya, kalah adalah harapan yang lepas. Harus diraih kembali dengan menghalalkan segala cara. Kekalahan adalah ancaman hilangnya potensi keuntungan. Kekalahan bisa juga dimaknai suramnya masa depan. Baginya, kemenangan pihak lain harus digagalkan. Tak peduli preskripsi etis apalagi argumen yang bersifat akademis. Ujaran kebencian dihembuskan. Ketika digugat balik, kencing di celana meminta maaf sembari nangis sesenggukan.

    Ketiga, Si Kalah berlagak pahlawan. Ini adalah komunitas unik dan miskin jati diri. Penuh siasat. Egois, licik, culas dan oportunis. Protektif menyelamatkan diri. Penuh siasat metodis. Halus, sopan dan tajam. Menghambat Si Menang saat proses perhelatan dengan peran keaktoran. Dilakukan guna mendapatkan potret diri arif bijak, profesional kritis dan berharap mendapat julukan The Problem Solver.

    Komunitas ketiga ini terdiri dari berbagai profesi. Kenginannya kuat untuk mengintegrasikan diri pada Si Menang melalui aksi lompat gelanggang. Tidak ingin mendapatkan labeling sebagai Si Kalah. Buta tuli hendak meninggalkan komunitasnya. Menyeberang ke arah Si Menang demi bersih diri sekaligus ingin menyandang predikat pahlawan. Seolah kontributif meski perilakunya sarat intrik dan masif. Ada kalanya tipikal ketiga ini mendadak ramah. Self contradictory dengan perilaku sebelumnya. Tiba-tiba mengajak ngopi bersama, tanpa beban mengundang Si Menang berpesta. Padahal di dalamnya menyimpan dusta dan kepentingan nyata.

    Komunitas ketiga ini diwarnai berbagai profesi. Ada akademisi, praktisi, jurnalis, profesional, pengusaha, birokrat, pegiat demokrasi dan sebagainya. Bermain dua kaki guna menyelamatkan citra diri. Datang saat diundang makan, menyerang dengan realitas buatan di balik Si Menang. Sok kritis terhadap kebijakan paslon, namun tak sanggup menerima keunggulan Si Menang. Pola aksinya cenderung menyalahkan hingga menebar opini fiktif  atas Si Menang. Pekerjaannya melakukan framing murahan, namun mandul merubah keadaan karena kurang ilmu dan pengalaman. Ketika statistika suara Si Menang bergerak signifikan, Si Kalah mengumbar beragam pernyataan. Kalimat pujian diluncurkan untuk mencuri hati Si Menang. Sungguh tak punya rasa malu, apalagi bersalah. Tiada guna Si Kalah membersihkan diri  karena Si Menang telah mencatat dalam Diary.

    Baca juga :  Membaca Arah Permohonan Perselisihan Pemilihan Bupati Magetan Tahun 2024

    Pemenang di masa lalu bisa kalah di masa kini. Epictetus menjelaskan bagaimana ketidakpastian adalah bagian alami dari kompetisi. Meskipun persiapan telah dilakukan maksimal namun manusia tak dapat  mengendalikan semua variabel eksternal. Tim pemenangan Pilkada dibentuk. Sarat gizi dan amunisi. Di dalamnya banyak SDM tangguh dan ahli. Tapi Si Kalah tak gampang mengatur Si Menang menuju tahta harapan. Di sinilah pentingnya kecerdasan, ketrampilan dan integritas.

    Jangan lupa, masyarakat pemilih di negeri ini masih nikmat dengan psikologi pecundang. Menjadi Si Menang karena dipencundangi dan dimarginalkan. Forum kampanye dan arena publik berubah fungsi. Dinodai menjadi panggung pembunuhan karakter. Mengemas aib personal meski tak tentu benar. Masyarakat terjebak dalam dinamika psikologi pecundang. Sehingga muncul kecenderungan bawah sadar untuk berpihak pada paslon yang dipecundangi. Keberpihakan semacam ini merupakan pembelaan sebagai refleksi kondisi masyarakat yang hingga kini merasa terpinggirkan, teraniaya, kecewa, dan ditinggal. Tak heran jika meraka bersatu melakukan konsensus kolektif mengantar Si Menang. Pemilih di daerah kita masih berorientasi ‘who’ yang mengedepankan sosok, figur, kemasan. Bukan ‘what’ yang berkonotasi program, output, isi, inti. Who membuka ruang sensitifitas publik yang menentukan.  Butuh kecermatan dan kehati-hatian menentukan pola permainan. Jika tidak, engkau tak lebih sebagai catatan sejarah. Bukan penentu alur pesta. (*)

    *) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung

    COPYRIGHT © 2024 WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan