Oleh: Swary Utami Dewi
Pacul Berdarah. Paduan dua kata ini memberi kesan seram. Pacul Berdarah di sini adalah judul buku kumpulan puisi dari seorang senior di Satupena, Wina Armada Sukardi. Saat menerima buku ini, yang menarik perhatian saya, selain judulnya yang bikin deg-degan, “Pacul Berdarah”, juga karena tampilan cover-nya. Ada lukisan pacul yang memang berdarah di bagian ujung bawah dan gagang atas. Judul buku “Pacul Berdarah” diberi warna merah untuk memberikan kesan berdarah.
Saya mulai mencari puisi “Pacul”. Apanya yang berdarah ya? Terus terang sewaktu membaca judul, sebelum melihat isi buku, saya menerka-nerka bahwa isi puisi “berdarah” itu menyenggol peristiwa di seputar “G-30-S” (Gerakan 30 September). Bisa jadi ini merupakan pasca atau dampak 30 September itu. Saya penasaran. Masuk ke halaman 17 ada dua lembar puisi “Pacul” yang cukup panjang.
PACUL
Mata pacul yang senja itu kuletakkan di garasi
tiba-tiba malamnya
telah menempel di tengkukku
Ujung besinya yang tajam terasa begitu dingin
Bergerak sedikit dalam hitungan detik kepalaku dapat terpenggal
Pacul mendesakku mengakui semua khianat dan kebejatan yang, tuduhnya, pernah kutanam
Pacul juga menuntut agar aku segera mengumumkan telah banyak membunuh nyawa orang dan minta maaf secara terbuka
Aku bermarifat pembunuhan mana yang pernah aku lakukan
jangan-jangan ini sekadar fitnah dan teror saja.
Seakan pacul mengerti isi otakku.
Pancul mengungkapkan:
“Kau memang tidak langsung membunuh, tapi tindakannu, khianatmu, perintahmu telah menyebabkan banyak orang sengsara yang akhirnya meregang nyawa mereka.
Dan jangan lupa, dalam dua kali peralihan rezim, kau bukan hanya mengetahui banyak perkara, melainkan juga terlihat di dalamnya
namun kau berlagak tak faham”.
Puisi “Pacul” tersebut bagiku menunjukkan betapa manusia, yang telah berbuat kesalahan dengan berbagai cara dan sudah menyengsarakan banyak orang, bahkan menghilangkan nyawa, “dipaksa” oleh sebuah benda, yakni pacul, untuk mengakui semua “khianat dan kebejatan” yang sudah dilakukannya. Pacul itu juga menuntut agar ia mengakui perbuatannya, yang menelan banyak korban jiwa serta meminta maaf secara terbuka.
Selanjutnya, simak kembali bagian ini:
“Dan jangan lupa, dalam dua kali peralihan rezim, kau bukan hanya mengetahui banyak perkara, melainkan juga terlihat di dalamnya namun kau berlagak tak faham.”
Peralihan rezim yang disinggung dalam bait itu apakah menyiratkan masa saat pergantian Orde Lama ke Orde Baru? Itu yang saya pikir. Jadi, apakah puisi ini memang menyasar masa-masa pergesekan ideologi yang menimbulkan pertumpahan darah dan warisan trauma selama puluhan tahun itu?
Kemudian, saya melangkah lebih lanjut dan mencermati beberapa puisi lain yang ada di kumpulan puisi tersebut. Ternyata puisi-puisi lain cukup ramah dan tak “menakutkan”. Ternyata memang buku ini semua berisikan puisi bertemakan benda; Benda apa saja yang terlintas di benak Wina.
Saat Wina dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa setiap benda memiliki makna, kesan dan sejarah yang berlainan untuk masing-masing orang, maka ini benar adanya. Bisa jadi saat Wina menulis Pacul, ia menulis kesan yang bisa berbeda, bisa pula sama, dengan imajinasi dan tangkapan para pembaca. Begitulah hukum alam setiap karya, termasuk puisi. Saat sudah dilepas ke publik akan menjadi hak publik untuk memberi makna.
Pacul bukan satu-satunya benda yang mendapat porsi di kumpulan buku puisi ini. Ada benda-benda lain yang bisa kita lihat dan jamah. Maka di sini ada Sapu, Palu, Koper, Tangga dan masih banyak lagi lainnya hingga mencapai 35 benda.
Jika benda bagi orang lain hanya menjadi benda semata, seperti halnya Pacul di atas, setiap dari benda di sini menjelma menjadi makna. Tangga, misalnya, menggambar kehidupan manusia yang ada di tengah-tengah. Memanjat ke anak tangga yang lebih atas diibaratkan sebagai tanjakan mencapai cita-cita. Ada impian di atas yang indah terlihat dan ingin kita capai. Simak petikan berikut:
“Menengadah ke atas
alam jiwa tenang
Segala asa dapat terkabul
Pelangi dan laut berbaur indahnya indah”
Ya, itulah Tangga bagi seorang Wina, yang telah disulap menjadi lebih bermakna melampaui wujud anak-anak tangga semata. Jujur, ketika membaca puisi ini, saya merasa seakan ada di tengah tangga dan merasa sedang ke atas, tapi tak melupakan yang bawah, yang telah menjadi pijakan sebelumnya dalam menggapai ketinggian cita-cita.
Bagi saya, cukup asyik membaca “Pacul Berdarah: Kumpulan Puisi Serbabenda” ini. Benda tak lagi sekedar benda secara ragawi, tapi diposisikan secara metaforik dan menjadi lebih filosofis berkat kecerdasan Wina. Buku ini istimewa. Maka, saya turut bahagia saat buku tersebut diganjar Rekor Dunia MURI dari Jaya Suprana, sebagai “Penulis Pertama untuk Puisi Serbabenda” pada 11 Juli 2024. (*)