Surabaya, 22 Oktober 1945
NAHDLATUL ULAMA
Sebagaimana diketahui pada 14 September 1945, Rois Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad: “Bahwa membela Tanah Air melawan penjajah hukumnya fardlu ain (Wajib bagi setiap warga negara). Dan umat Islam yang meninggal dalam perjuangan tersebut adalah mati syahid”.
Fardlu Ain (wajib) bagi muslim yang berada pada radius 94 km dari titik pertempuran di Surabaya, dan di luar itu fardlu kifayah (tidak wajib, jika sudah ada yang melaksanakan), menjadi magnit dari seluruh penjuru Jawa Timur berbondong bondong ke Surabaya untuk menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi. Kini semua sudah berlalu tinggal peringatan Hari Santri Nasional dan Hari Pahlawan, dari peristiwa di Kota Pahlawan.
Dakwah Sepanjang Masa
Sekedar kontemplasi atau sebuah perenungan ketika memperingati Hari Santri Nasional, maka berjuang dan berdakwah sepanjang masa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah pesan sesungguhnya Hari Santri. Sehingga generasi apa saja ketika menjumpai peringatan Hari Santri, terpanggil sebagai anak bangsa yang harus mempertahankan sejengkal tanah Ibu Pertiwi seperti perjuangan arek arek Suroboyo tempo dulu.
Sebagaimana diketahui,
Kontemplatif (bahasa Latin: contemplore) berarti merenung dan memandang. Kontemplatif atau kontemplasi merupakan cara hidup yang mengutamakan kehidupan penuh ketenangan, bermati raga, dan bertapa, sehingga dapat berdoa dan bersemadi dengan lebih mudah.
Menurut KBBI arti “kontemplasi” adalah renungan, dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh. Cara melakukan kontemplasi bisa dengan merenung, meditasi, tafakur, dan introspeksi diri.
Tetapi karena jaman sudah bergeser menuju (hampir totalitas) kehidupan mengarah ke era digital, maka tidak berlebihan dalam berjuang dan berdakwah sepanjang masa dengan sentuhan kecanggihan digital, termasuk menjadi fokus dakwah menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi.
Karena atas nama santri, maka dalam berbagai perjuangan dan dakwah selalu menjaga pesan moral tertinggi, bahwa Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wassalam diutus sebagai Rasul terakhir untuk menyempurnakan akhlaq manusia menjadi lebih mulia. Dan santri wajib berjuang dan berdakwah dengan mengedepankan akhlaq mulia, dengan budi pekerti luhur.
Adalah generasi milenial dan generasi Z sebagai penerus perjuangan hingga menjumpai berbagai peristiwa tanda tanda jaman akhir atau akhir jaman. Maka dengan berjuang dan berdakwah rasanya hidup dan kehidupan mempunyai makna. Itulah sesungguhnya pesan tertinggi Hari Santri Nasional. Yaitu, siapa saja anak bangsa yang hati nuraninya masih terpanggil menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi dengan Akhlaqul Karimah, dengan budi pekerti luhur juga mulia, maka itulah sesungguhnya pahlawan pahlawan negara dan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Perang Digital
Peperangan secara nyata maupun sembunyi sembunyi, sudah tidak dapat dipungkiri semua menggunakan kecanggihan teknologi digital. Bahkan peperangan terbesar abad ini antara Rusia dan Ukrania, juga beberapa kedzaliman kekuasaan seperti Israel menggempur Gaza, teknologi digital sudah terdepan menjadi alat peperangan. Begitu juga ketika Iran memborbardir Israel melalui rudal digital.
Hari Santri Nasional juga mengingatkan kepada generasi milenial dan generasi Z serta generasi kapan pun, tidak berpangku tangan menyaksikan perubahan peradaban dan perubahan perjuangan juga dalam menjalankan cara-cara berdakwah.
Seperti diketahui
Generasi Z, sering disingkat menjadi Gen ygZ dan dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai Zoomers, ia adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012. Sebagian besar Generasi Z adalah anak-anak dari Generasi X atau Milenial yang lebih tua. Generasi Z lahir pada awal Abad ke-21, dan menjadi generasi pertama yang tumbuh dengan akses Internet dan teknologi digital sejak usia muda.
Milenial atau generasi milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Generasi X. Milenial kadang-kadang disebut sebagai “Echo Boomers” karena adanya ‘booming’ (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari “baby boom echo” umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.
Sekali lagi, sebagai sebuah sentuhan qolbu, sentuhan hati nurani bahwa Hari Santri Nasional adalah milik bangsa Indonesia, sebagai penguatan perjuangan hari ini dan masa yang akan datang, untuk tidak berhenti berjuang dan berdakwah sekaligus menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi. Karena anak-anak bangsa Negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke itulah, sesungguhnya pemilik sah sejengkal tanah Ibu Pertiwi itu. (*)