Di awal Nopember, ada pernyataan menarik dan menggelitik diungkap Bupati Ngawi Ony Anwar Harsono kala menghadiri peresmian Balai Wartawan Ngawi bersama Wakil Bupati Dwi Rianto Jatmimiko dan Forpimda (Cakranews. Online, 10/11/2022).
Pernyataanya datar, tidak menggebu-gebu. Namun pesannya bemakna mendalam. Sedalam pikiran dan seluasnya dunianya wartawan. Maknanya sarat dengan ‘kegelisahan’ Bupati. ‘Kegelisahan Bupati juga pasti ‘kegelisahan’ wakil bupati. Keduanya selaksa sisi mata uang logam yang tak terpisahkan.
Rupanya orang nomer satu di pemerintahan daerah “negeri ramah’ ini memanfaatkan ruang seremonial peresmian untuk menyampaikan uneg-uneg. Seolah memuji ‘setinggi langit, namun hakekatnya ada muansa mengkritik, ’mengugat’ eksistensi wartawan khususnya wartawan di daerah. Bisa jadi juga kegalauannya. Meskipun cara penyampaiannya tidak vulgar dan emosional.
Barangkali itu bukan tanpa sebab. Bisa sebabnya, bupati sering berkomunikasi dengan wartawan. Biasa mengamati prilaku, sikap dan menangkap pikiran wartawan. Ingat taksonomi Bloom, seolah bupati paham tiga aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Benjamin Bloom seorang psikologi bidang pendidikan.
Bupati sudah paham pekerjaan dan karakter wartawan. Wartawan sebagai pekerja mencari, menghimpun, memilih, mengolah berita kemudian menyajikan berita kepada khalayak luas. Begitu ada gagasan dari wartawan, bupati bersama birokrasinya menyambut dengan cepat, lapang dada. Selapang dada menghadapi wartawan dalam keseharian memimpin di pemerintahan.
Ada beberapa poin diungkapkan. Pertama, balai wartawan dinilai sebuah ide besar wartawan. Ide besar ini terwujud karena sinergitas, kolaborasi, harmonisasi, untuk saling mengisi apa yang menjadi kekurangan dan niat baik untuk mewujudkan cita-cita luhur.
Kedua, pemanfaatan balai wartawan agar berguna untuk kegiatan kewartawanan. Tidak hanya sekedar tempat bersinggah istirahat tapi bisa memberikan manfaat luas.
Ketiga. poin satu ini disampaikan saat diwawancarai wartawan selepas turun panggung. Bupati meminta wartawan makin meningkatkan kualitas dalam pemberitaan. Performance wartawan profesional harus ditingkatkan dan dijaga. Tekanannya agar pemberitaan makin berkualitas dan profesional.
Dari poin-poin itu tegasnya, bupati ingin mengajak wartawan memainkan perannya di tengah pusaran persaingan globalisasi yang penuh dengan persoalan dan tantangan. Tidak terus memposisikan diri sebagai dua kutub berlawanan dengan pemerintah daerah. Tetapi membangun posisi kolaborasi dan bersinergi. Wujudnya membangun opini terbaik dari pikiran dan tulisan-tulisan wartawan. Tentunya bupati setuju tanpa menghilangkan makna fungsi pers sebagai kontrol sosial (UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Bab II pasal 3).
Sejak menjabat, Bupati Ony bersama Wakil Bupati Dwi Rianto Jatmiko selalu gencar mengajak semua elemen masyarakat berkolaborasi dan bersinergi seluas-luasnya. Bagi birokrasi, kolaborasi dan sinergitas dengan insan wartawan sebuah keharusan. Pemerintah daerah ingin membangun opini terbaik, agar segala upaya dilakukan pemerintah daerah tidak sia-sia. Meski memakhlumi, birokrasi masih perlu dikritik. Dikontrol oleh insan pers. Apapun membangun opini terbaik menjadi prioritas pilihan bupati dan wakil bupati di tengah dinamika pemberitaan yang ditangkap masyarakat.
Yakin seyakinnya, bupati dan wakil bupati pasti tidak akan rela jika produk pemberitaan wartawan tidak berkualitas, produknya tidak obyektif, dan wartawan tidak profesional. Pemerintah daerah pasti merasa menjadi bagian terlibat dalam mendidik wartawan. Bagian dari membangun kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Boleh jadi, apa yang disampaikan Bupati Ony sebagai harapan. Balai wartawan apapun istilah yang sepadan, bukan sekedar tempat. Bukan cuma wadah. Wadah itu harus berisi. Berisi yang bermanfaat. Lebih luas harapannya, keberadaan wartawan memberi manfaat kepada masyarakat luas. Karena bupati percaya “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Nah, jika dimaknai lagi dari ungkapan bupati adalah soal konsistensi wartawan dalam memegang teguh profesi dan kode etik kala mengumpulkan, mengelola serta menyebarkan informasi ke ruang publik lewat media massanya. Pertanyaannya, sudahkah pemberitaan yang dipublikasikan wartawan berkualitas? Dan apakah wartawan sudah memenuhi tuntutan profesionalisme? Dua pertanyaan yang sering jadi perdebatan hingga tak pernah benar-benar tuntas.
Yang bisa menjawab berkualitas dan sudah profesional, tentu bukan wartawan. Adalah orang lain di luar sana, pakar komunikasi, pakar-pakar lain, pejabat juga masyarakat.
Wartawan, juga perusahaan pers cukup menjaga kode etik, menjaga UU agar wartawan dan perusahaan pers berada di track yang benar.
Tidak elok jika wartawan merasa pemberitaan paling berkualitas. Merasa paling profesional. Bisanya wartawan, berupaya membuat pemberitaan berkualitas dan berikhtiar profesional. Serahkan penilaian pemberitaan berkualitas dan penilaian profesionalisme itu kepada ruang publik.
Jadi, harapan bupati sebuah kewajaran: pemberitaan berkualitas dan wartawan harus profesional. Kritikan terhadap wartawan bukan aib. Hakekatnya pemberitaan harus berkualitas. Wartawan harus mengedepankan profesionalisme.
Pencapaian profesional tentu ada proses. Tidak sekedar mengejar formalitas belaka. Kartu pers sebuah identitas profesi. UKW (Uji Kompetensi Wartawan) adalah proses pemantapan profesionalitas, membangun wawasan dan membangun etika jurnalistik.
Kendati ada berbagai kesan dan pendapat terkait UKW: sebelum ikut UKW beberapa ada yang masih ragu-ragu. Ada yang makin mantab.
Memang sebenar-benarnya hakiki wartawan harus profesional dalam menjalankan tugas profesinya. Tidak dicampur-adukkan dengan kepentingan di luar profesinya. Menjadikan berita berkualitas artinya ada internalisasi pengetahuan, keterampilan tulis-menulisyang harus terus diasah. Akan menjadi persoalan apabila wartawan lalai dengan dasar-dasar pengetahuan kewartawanan. Lalai dasar-dasar kewartawan dan kaidah-kaidah urnalistik. Itu sama saja ‘kecelakaan’ karena dasar-dasar pengetahuan, ketrampilan, keahlian jurnalistik adalah roh, jiwa wartawan.
Tokoh-Tokoh Wartawan
Menurut tokoh-tokoh wartawan senior seperti H Agil. H Ali, Dahlan Iskan, M Anies, Peter A. Rohi, Ansyari Tayib, Darmaji, Bondhet Hardjito, Abu Bakar Yarbo, Joko Tetuko, Lutfil Hakim, Heri Akhmadi (sekarang duta besar di Jepang) dan sejumlah tokoh lain, dalam berbagai kesempatan selalu berpesan dan mewanti-wanti: Tulisan seorang wartawan harus memenuhi karya jurnalistik. Wartawan tidak membuat berita ngawur. Harus sesuai fakta. Tidak boleh mencampuradukkan opini dengan fakta. Tidak emosional. Menguasai persoalan. Intinya wartawan harus cerdas!
Masih menurut diantara wartawan senior itu, ketika wawancara harus menguasai persoalan. Ketika datang ke pejabat, ke nara sumber harus menyiapkan bahan wawancara. Tidak dengan wawancara kosong. Jangan datang di hadapan narasumber, hanya berbekal bahan pertanyaan: Ada berita apa Pak? Belajar dari tokoh wartawan perlu karena mereka itu memiliki segudang pengalaman kewartawanan. Pikiran, gagasan, tulisan kewartawanan sangat cermelang. Cermelang dalam berjuang menjaga marwah kewartawanan.
Wawancara dengan cara yang baik adalah tuntutan. Wartawan sering abai dengan itu. Padahal wawancara adalah bagian kecil dan mendasar dari proses profesionalisme. Karena itu wartawan dituntut menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Proses dalam tugas jurnalistik harus dengan cara-cara profesional. Tiga poin yang diungkapkan bupati itu, patut untuk diapresiasi dalam upaya mewujudkan pemberitaan berkualitas dan tuntutn wartawan profesional. Sekarang tinggal ada pa personal wartawan, apakah ingin mengikuti arus atau ingin melawan arus atau membuat arus (yang baik)? Itu semua sudah dibuktikan. (*)
Penulis: Sugiharto, Pengajar Pendidikan Jurnalistik, Manajemen Pendidikan Islam (MPI) STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron Ngawi, Pengurus FPMPI Kopertais IV-Surabaya Jawa Timur.