Tulisan Pak Dahlan Iskan pertengahan Juli lalu “IDI PWI” sedikit menyinggung tentang penegakan Kode Etik yang menjadi salah satu peran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terhadap anggotanya. Dia katakan tugas itu tidak mudah karena sekarang siapapun dapat menjadi wartawan, tidak seperti dokter yang harus lulus sekolah kedokteran (plus praktek kerja dua tahun).
Pernyataan itu sedikit rancu, tetapi kita maklumi karena dia sedang membandingkan PWI dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang selama puluhan tahun menjadi organisasi tunggal dan ketika Undang-Undang Kesehatan no.17 tahun 2023 berlaku maka tenaga kesehatan termasuk dokter dapat mendirikan organisasi di luar IDI.
Yang pasti wartawan dan dokter adalah dua profesi yang ada persamaan tetapi ada juga perbedaan, antara lain dokter profesi tertutup khusus untuk sarjana fakultas kedokteran sementara wartawan profesi terbuka yang bisa diperoleh dengan pelatihan. Dokter bisa menjadi wartawan tetapi wartawan tidak bisa menjadi dokter.
IDI selama ini memiliki Majelis Kehormatan Etik Kedokteran untuk menangani berbagai persoalan etik yang menyangkut dokter, sementara PWI memiliki Dewan Kehormatan untuk tugas serupa terkait wartawan dan karya jurnalistiknya. Kedua-duanya adalah badan otonom, yang selain “menyidang” pelanggar etik juga melakukan diseminasi kode etik, pengembangan masalah etik. Tujuannya sama, untuk menjaga kepercayaan masyarakat agar profesi tetap dihargai dan dipercaya dalam menjalankan tugasnya.
Kita mungkin tahu bahwa IDI organisasi yang sakti. Kalau sanksi sudah dijatuhkan maka anggota tidak bisa menjalankan profesinya. Zaman dulu kita mendengar Simon Gunawan yang mencampur profesi dokter dengan kemampuan nonmedia terhadap mantan Wapres Adam Malik, langsung izin dibekukan. Begitu pula terakhir konflik dengan Terawan Agus Putranto yang berakhir dengan pemecatan, meski Terawan seorang jenderal bintang dua dan pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Meskipun dianggap kontoversial karena sejumlah pejabat, tokoh dan anggota DPR RI membela Terawan, IDI tetap memecat sesuai rekomendasi MKEK.
Bagaimana dengan PWI? Dewan Kehormatan PWI sudah menjatuhkan skorsing pemberhentian I terhadap seorang ketua bidang PWI Pusat, tetapi keputusan tidak dijalankan dengan berbagai alasan. Begitu pula surat peringatan keras terhadap pengurus lainnya. Ada apa dengan Pengurus Pusat PWI?
Dewan Kehormatan adalah lembaga penting yang justru dibentuk untuk mempertahankan harkat dan martabat PWI di mata masyarakat, organisasi profesi sejenis, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga negara. Dewan Kehormatan adalah penyeimbang dari eksekutif agar semua berjalan sesuai dengan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT) PWI, mulai dari tingkat Kabupaten-Kota, Provinsi, sampai ke Pusat.
Kedudukannya setara. Itulah sebabnya Ketua Dewan Kehormatan dipilih bersamaan dengan Ketua Umum PWI Pusat pada saat Kongres PWI. Yang satu memeriksa dan memberi rekomendari, yang satu lagi menjalankannya sebagaimana tertulis di PD PRT PWI. Tidak seperti kedudukan inspektur di Kementerian atau organisasi militer, dimana Inspektur hanya memeriksa personil dengan jenjang tertentu, di bawah pimpinan.
Sanksi etik di profesi wartawan tentu banyak terfokus pada karya jurnalistik yang diproduksi oleh anggota PWI apakah itu tidak konfirmasi, menuduh sembarangan, menulis hal cabul dsb. Tetapi dengan adanya Kode Perilaku Wartawan PWI maka pelanggaran terhadap PD PRT misalnya termasuk tindakan yang dapat dijatuhi sanksi. Bahkan termasuk kena sanksi adalah “melakukan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi negara (UUD 1945).”