Perlu diingat bahwa “Pendidikan” merupakan term yang dimaknai “ing hangarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Kita ketahui bahwa 2 Mei diperingati sebagai Hardiknas adalah penghormatan atas tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara. Beliaulah tokoh Pendidikan yang telah mendapatkan gelar Pahlawan.
Konsep kepemimpinan nasional yang lahir dari pemikiran beliau adalah “jika didepan mampu menjadi contoh, jika ditengah mampu membangun semangat, jika dibelakang mampu memberikan dorongan”. Konsep ini sangatlah sederhana untuk diucapkan. Namun maknanya dalam serta perlu kesungguhan dalam implementasinya.
Semangat yang terkandung di dalam konsep kepemimpinan nasional “Ki Hajar Dewantara” akhirnya banyak diadopsi sehingga menjadi substansi leaderships. Inti dari semua mode leaderships sebenarnya diletakkan pada goodfaith subjeknya. Jika itikad baik seorang pemimpin telah diletakkan dengan benar maka tujuan sebuah perencanaan dan program akan menunjukkan hasil yang maksimal.
Namun sebaik apapun program yang telah dicanangkan jika para pemangku kepentingan Pendidikan tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakannya maka hasilnyapun akan tidak maksimal.
Semangat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia pada Hardikan 2023 kali tercermin dalam makna logo yang dibuat. Terdapat tiga elemen penting di dalam logo yaitu Bintang, Keceriaan, dan Pena. Bintang, menggambarkan semangat Hardiknas yang selaras dengan visi dan misi pemerintah untuk melahirkan generasi Indonesia yang cerdas berkarakter.
Dengan garis luwes menggambarkan semangat adaptif dan tangguh menghadapi perubahan zaman yang sangat dinamis. Keceriaan, menggambarkan suasana pendidikan Indonesia yang menggembirakan, penuh dengan antusiasme, dan gotong royong serta partisipasi publik.
Pena, menggambarkan proses pendidikan sebagai sebuah proses penciptaan mahakarya yang memerlukan perpaduan holistik antara kemampuan intelektual, emosional, dan spritual dalam pelaksanaan.
Generasi cerdas berkarakter tidak dapat dibuat seperti sekedar membalikkan telapak tangan. Butuh proses panjang, butuh keteladanan baik yang harus menjadi budaya didepan mata generasi muda kita.
Generasi muda lebih mudah belajar dari pengalaman hidup, apa yang dilihat serta apa yang didengar. Jika contoh-contoh kehidupan dunia pendidkan yang ada didepan mata mereka adalah tersaji contoh tidak baik maka teori-teori teladan kebajikan adalah sampah belaka. Maka saat ini yang darurat adalah mengimplementasikan teori-teori baik itu dalam kehidupan nyata. Bidang yang dapat disebut sebagai pondasi pembentukan generasi cerdas berkarakter itu ada di dunia Pendidikan.
Darurat korupsi, sikap malas, suka nerobos, hedonis, dan hypokrit dan berbagai pola hidup tidak baik lainnya hanya dapat dipangkas melalui sebuah proses Pendidikan. Negara dan rakyat dalam hal ini wajib cancut taliwanda untuk bersama-sama dan bersungguh-sungguh mewujudkann linieritas teori dibangku sekolah dengan pengalaman hidup yang sesungguhnya. Pelajaran, dogma dan teori-teori yang merupakan dunia idea (das sollen) wajib diikhtiarkan untuk menjadi model dalam kehidupan nyata (das sein).
Dunia Pendidikan dewasa ini memiliki pekerjaan rumah yang sangat banyak. Dunia Pendidikan memang tidak boleh berhenti. Karena sejatinya bahwa proses Pendidikan itu sepanjang hayat. Jika dunia Pendidikan stagnan makai boleh diibaratkan dunia telah berhenti. Memadukan IQ, EQ dan SQ merupakan tugas berat dunia pendidikan.
Menjelaskan rentang-relasi pendidikan intrakurikuler, Pendidikan formal dan Pendidikan ekstrakurikuler harus telah diterjemahkan dengan tuntas. Tidak boleh terjadi kesenjangan diantaranya, karena itu kunci membentuk generasi cerdas berkarakter.
Sementara siapapun kita yang sedang mendapatkan label “ing hangarsa” atau “di depan” maka mutlak memiliki tugas menjadi teladan baik dalam cara berpikir dan berbuat sehingga menjadi contoh konkret dalam kehidupan nyata. Hal mana akan menjadi panduan bagi generasi sekarang sebagai bekal menjadi pemimpin dimasa mendatang. Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok. (*)
*) Penulis: Akademisi ITB Widya Gama Lumajang.