Al Araf, Dosen Fakultas Hukum Univ Brawijaya, Ketua Badan Pengurus Centra
Initiative dan Peneliti Senior Imparsial, menyoroti pasal-pasal tidak perlu disebutkan dan menimbulkan multitafsir.
“Kalimat pada pasal-pasal banyak yang tidak perlu ada, sehingga membuat over kriminalisasi. Sebab pasal karet dan cenderung over kriminalisasi sementara pidananya sangat kabur dan multi-interpretatif, sehingga siapapun dapat dijerat dengan pasal ini karena dianggap menghina,” kata Al Araf.
Problemnya, lanjut Al Araf, menguji di Mahkamah Konstitusi, apakah akan mendapat keadilan. Sebab pengalaman selama ini seperti itu.
“Saya sedang membaca KUHP dan sedang menulis tafsirnya dari pasal ke pasal,” kata Wina Armada Sukardi, Pakar Praktisi Hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik dengan materi
“Baju baru dan Jiwa KUHP Baru”, mengawali diskusi.
KHUP ini, kata Wina, tidak jelas dan melihat isinya paradigma yang sudah 200 tahun ketinggalan. Di Amerika penghasutan di penjara. Inilah yang diadopsi KUHP sekarang.
“Saya bicara fakta bahwa undang undang yang sudah dihapus 2 abad lalu, masih diadopsi di KUHP. Inilah yang membuat kita ketinggalan 2 abad,” tandas Wina.
Sama dengan Al Araf, Wina juga membaca banyak isi dari KUHP bias. Dan banyak yanh berkaitan dengan demokrasi di Belanda sudah tidak dipakai lagi. Masih diadopsi. “Padahal pasal itu khusus oleh Belanda dipakai untuk negara jajahan,” ujarnya.
Dari segi pers, menurut Wina, tidak boleh mengkritik dan membuat karya jurnalistik untuk masyarakat justru bisa dipidanakan.
KUHP, lanjut Wina, merupakan yang setengah hati dan berlebihan. Karena banyak negara yang menganut Presidentil tidak mengatur penghinaan terhadap Presiden. (*)